TEMPO.CO, Jakarta - Berkaitan dengan kecelakaan Tol Cipularang baru-baru ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI mengeluarkan riset tentang jaga jarak aman kendaraan. Kecelakaan tersebut terjadi Senin, 2 September 2019, melibatkan 21 kendaraan dan menyebabkan delapan korban meninggal.
"Tabrakan beruntun adalah terjadinya peristiwa tabrak belakang antar kendaraan yang melibatkan minimum 3 (tiga) kendaraan, dan khususnya terjadi di jalan tol," ujar Peneliti Utama Bidang Instrumentasi Optik LIPI Sugiono, dalam keterangan tertulis, Rabu, 4 September 2019.
Baca Juga:
Mengapa khususnya terjadi di jalan tol? Karena asumsi para pengguna jalan tol adalah jalan yang bebas hambatan, tak ada lampu merah, tak ada simpangan sebidang, tidak ada orang atau hewan menyeberang jalan yang berakibat melambatnya kendaraan. Artinya, perjalanan tanpa gangguan.
Namun, tertulis dalam penelitian, banyak pengemudi di jalan tol lalai terhadap aturan alias sangat sembarangan dalam memanfaatkan jalan tol. Pengemudi melaju di jalan tol dalam kecepatan tinggi, tapi tidak mempertimbangkan jarak aman antara kendaraannya dan mobil di depannya.
Berdasarkan data PT Jasamarga terkait jalan tol yang dikelolanya, tabrakan beruntun terjadi empat hari sekali dalam kurun waktu antara 2014-2016.
"Aturan jaga jarak aman sebenarnya mudah diingat. Laju kendaraan yang diperkenankan misalnya 60 km/jam maka jarak aman minimum dengan kendaraan depannya adalah 60 meter. Dan kecepatan paling tinggi 100 km/jam jaraknya harus 100 meter," kata Sugiono.
Namun, kata dia, yang menjadi masalah adalah cara mengukurnya. Mobil seperti BMW, Mercedez, Audi, dan kendaraan mewah lainnya, sudah dilengkapi pengukur jarak, bahkan Automatic Cruise Control atau pengendali perjalanan otomatis, termasuk jarak dengan kendaraan di depannya. Mobil bisa melambat otomatis jika jarak terlalu dekat atau mempercepat jika jarak aman untuk percepatan.
LIPI juga membuat beberapa inovasi untuk pengendara. Pada 26 Agustus 1991 LIPI telah mendaftarkankan invensinya tentang upaya untuk kendaraan biasa, yang akhirnya lolos pada 10 Maret 1997 dengan nomor paten ID 0,001,402.
Salah satu gambar paten pengukur jarak antar kendaraan inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan nomor paten ID 0,001,402. (Doc. LIPI)
Dengan modal paten ini, pengemudi dapat dipandu dalam 4 hal, salah satunya adalah mengukur jarak antara kendaraannya dan kendaraan di depannya.
Perangkat ini seperti gambar pada kaca kendaraan yang menggambarkan jarak mulai dari 10 meter sampai 120 meter. "Perangkat telah dimanfaatkan pengemudi sejak 2000, sudah disiarkan di beberapa acara televisi dan sudah dimuat dalam koran, namun tidak banyak yang berminat," tutur Sugiono.
Pada 2012, ditemukan perangkat baru yang lebih sederhana, berupa stiker yang dipasang di belakang kendaraan. Stiker khusus didisain berdasarkan akuitas (ketajaman) mata manusia normal
sebagaimana yang dipersyaratkan ketika tes mata saat ujian untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi.
Mata yang mempunyai akuitas di bawah normal harus menggunakan optik korektif (kacamata atau lensa kontak). Adapun fasiltas mengukur jarak pada invensi ini berupa stiker yang ditempelkan di bagian belakang kendaraan, dan yang memanfaatkannya adalah pengemudi yang membuntutinya.
"Invensi ini didaftarkan pada 29 Desember 2013 dan granted 27 Januari 2017 dengan nomor paten IDS 0,001,554. Berbagai varian stiker jenis ini telah dibuat dan didistribusikan lebih dari 400 buah," ujar Sugiono.
Berita lain terkait kecelakaan tol Cipularang, bisa Anda simak di Tempo.co.