TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas nuklir Jepang NRA akan menyelidiki kembali bencana Fukushima, yang mengakibatkan tiga reaktor di pembangkit listrik tenaga atom mencair setelah gempa bumi dan tsunami delapan tahun lalu.
Bencana pada Maret 2011 menyebabkan ledakan dan kehancuran tiga reaktor di stasiun nuklir Fukushima Daiichi di utara ibukota, Tokyo, memuntahkan radiasi yang memaksa 160.000 orang mengungsi, dan banyak yang tidak pernah bisa kembali.
Dalam penyelidikannya, NRA akan berusaha menentukan tempat radiasi bocor dari bejana penampung reaktor yang rusak, demikian dilaporkan Reuters mengutip sebuah makalah, Rabu, 11 September 2019.
Pemeriksaan ulang ini juga akan melihat sistem pendingin yang diatur untuk menjaga bahan bakar yang meleleh di reaktor agar tidak terlalu panas.
Seorang juru bicara NRA, yang dihubungi oleh Reuters melalui telepon, tidak bisa memberikan komentar.
Bencana tersebut akhirnya menyebabkan semua reaktor Jepang mati, yang sebelum bencana memasok sekitar 30 persen listrik di negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.
Ini adalah bencana nuklir terburuk di dunia sejak Chernobyl pada 1986.
Salah satu dari investigasi yang dilakukan menyimpulkan bahwa Fukushima "adalah bencana buatan manusia yang bisa dan seharusnya bisa diramalkan dan dicegah, (sementara) pengaruhnya bisa dikurangi dengan respon manusia yang lebih efektif."
Pada 2016, pemerintah Jepang memperkirakan biaya pembongkaran pabrik, dekontaminasi daerah yang terkena dampak, dan kompensasi akibat bencana Fukushima akan menjadi 21,5 triliun yen (sekitar Rp2.800 triliun), atau sekitar seperlima dari anggaran tahunan Jepang.