TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Anti Mafia Korupsi Sumber Daya Alam menyatakan selain menguntungkan para mafia tambang, revisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan membuat reforma agraria menjadi jalan di tempat.
"Saya melihat revisi UU KPK dalam konsep oligarki di agraria yang akan membuat reforma agraria jalan di tempat. Saya melihat bahwa kontribusi KPK dalam memutus gurita oligarki agraria di Indonesia melalui tiga contoh kasus," ujar anggota koalisi Eko Cahyono dalam diskusi "Gurita Mafia Sumber Daya Alam dalam Penghancuran Upaya Pemberantasan Korupsi" di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Selasa, 10 September 2019.
Selain Eko, Monica Tanuhandaru dari Partnership for Governance Reform (Kemitraan), peneliti Auriga Nusantara Iqbal Damanik, Edi Gun dari Transformasi untuk Keadilan (TuK), Eko Cahyono dari Sajogyo Institute (SAINS), Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor (IPB), serta Direktur Eksekutif Walhi Nasioal Nur Hidayati turut hadir dalam diskusi itu.
Ramainya penolakan revisi UU KPK berawal dari Dewan Perwakilan Rakyat yang menyepakati pembahasan revisi UU KPK atau Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Rapat Paripurna Kamis, 5 September 2019, DPR menyepakati revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR.
Contoh kasus pertama, Eko melanjutkan, masalah agraria yang dia sebut sebagai residual konsekuensi, masalah agraria warisan dari dulu sampai sekarang. Cirinya adalah eksploitasi sumber daya alam dengan paksaan dan senjata untuk kepentingan kolonial, serta melakukan dehumanisasi.
"Di era orde baru satu fase di mana development production atau cara mengurus agraria untuk kepentingan ekstraksi, dengan cara korupsi atau disebut sebagai kapitalisme negara," kata Eko dari Sajogyo Institute (SAINS). "Era ini ciri utamanya ada kroni-kroni nasional yang melakukan KKN, lalu mereka membangun oligarki tapi berbasis negara."
Selain itu, Eko menyebutnya neokolonial atau neoloberal production. Pasca orde baru terdapat cara baru penguasaan sumber agraria, yang cirinya melakukan komoditifikasi, membendakan semua agraria, atau boleh diperdagangkan di pasar jadi sama dengan dagangan lainnya.
"Nah menurut saya kontribusi untuk masalah ini adalah KPK sudah memulai memutus mata rantai itu, agar sumber agraria tidak dilakukan komoditifikasi, eksploitasi melalui pembersihan dari perizinan tata kelola, juga pada penegakan hukum," tutur Eko. "Sehingga niat jahat para oligarki tidak bisa berlanjut, dan mengembalikan marwah agraria untuk kemakmuran rakyat itu dilakukan KPK."
Kemudian, Eko menjelaskan, masalah politik pengabaian atas agraria. Banyak kebijakan yang mengaku agraria tidak mengerucut ke narasi utama politik agraria yang semuanya mengamanatkan keadilan sosial. Namun, praktiknya kebijakan itu sebenarnya menjauh.
Misalnya, Eko berujar, klaim ada reforma agraria yang sebenarnya legalitas aset atau sertifikasi tanah itu tidak layak disebut reforma agraria. Karena dalam konteks agraria itu lebih dekat ke reforma agraria yang dipandu oleh pasar.
"Kontribusi KPK, dalam kontek politik kebijakan yang ignoren tadi, itu mendekatkan bagaimana sebenarnya upaya reforma agraria itu dimulai, mengoreksi dan mencabut izin konsesi sumber daya alam yang tidak sepaham dengan nilai keadilan agraria," kata Eko.
Menurutnya, melalui OTT (operasi tangkap tangan) dengan pencegahan dan perbaikan sistem, KPK membantu penegakan nilai-nilai tanah yang memiliki batas maksimum dan minimum penggunaannya dalam konteks agraris. Sehingga upaya mencabut ijin, memperbaiki sistem itu sebenarnya mengoreksi ulang.
Ada juga oligarki agraria yang berkelindan dengan korupsi sumber daya alam. "Kalau menyebut orang kaya pasti disebut punya tanah, kalau tidak tanah ya punya kebun atau tambang. Tidak ada orang kaya yang tidak berurusan dengan sumber agraria atau sumber daya alam," ujar Eko.
Temuan KPK ternyata memiliki hubungan koleratif antara penguasa tanah dengan kepala pemerintahan. Lebih 70 persen kepala daerah saat pilkada didukung oleh korporasi yang berbasis sumber daya alam, dengan kompensasi kemudahan ijin dan konsesi. Itulah jawaban kenapa banyak kepala daerah dipenjara oleh KPK.