TEMPO.CO, Jakarta - Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengungkap bahwa sampai 2016 banyak masyarakat DKI Jakarta menderita sakit dan meninggal karena polusi udara Jakarta.
"Kami melakukan riset lima tahun sekali, nah pada 2016 itu 58,3 persen dari lebih dari 10 juta penduduk Jakarta menderita sakit atau meninggal karena polusi udara lokal," ujar Ahmad dalam workshop Soot-free Urban Bus Fleet in Asia, di Pullman Hotel, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 12 September 2019.
Dalam studi yang dilakukan International Council on Clean Transportation (ICCT) pada 2017, polusi udara ambien telah menyebar ke banyak kota di seluruh dunia dan telah menyebabkan 2,9 juta kematian dini disebabkan oleh partikel halus (PM2.5).
Penyakit yang berhubungan dengan polusi udara sekitar contohnya seperti penyakit jantung iskemik, stroke, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru-paru, infeksi saluran pernapasan bawah dan diabetes mellitus tipe 2.
"Persentasi itu menghasilkan biaya medis yang tinggi sebesar Rp 51,2 triliun, untuk mendapatkan perawatan medis yang harus dibayar oleh orang yang tinggal di Jakarta," kata Ahmad.
Jakarta adalah salah satu ibu kota dengan polusi parah dari parameter PM2.5. Menurut AirNow, Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambient (AAQMS) baru-baru ini untuk Indeks Kualitas Udara Jakarta menunjukkan bahwa rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 mencapai 46,1 μg/m3, untuk Juli sendiri mencapai 63,82 μg/m3.
AQMS yang dikelola oleh Pemerintah Jakarta juga menunjukkan rata-rata tahunan konsentrasi PM10, SO2, dan O3 pada tahun 2012 hingga 2017, melebihi standar. Polusi udara di Jakarta, kata Ahmad, berasal dari sektor transportasi sebesar 46 persen, diikuti sektor industri 28 persen, sektor domestik 17 persen dan kegiatan konstruksi mengambil porsi terkecil sebesar 1 persen.