TEMPO.CO, Jakarta - Serangan pesawat nirawak (drone) pada pipa minyak Saudi di barat Riyadh mengungkapkan lompatan signifikan dalam kemampuan kelompok pejuang Ansar Allah, atau dikenal sebagai Houthi. Pipa Aramco Timur-Barat, yang membentang rusak di dua tempat.
Drone semakin banyak digunakan Houthi dalam operasi melawan koalisi Arab Saudi-UEA. Pada Juli 2018, drone meledak di bandara Abu Dhabi, menyebabkan kerusakan kecil, demikian dikutip Aljazeera, baru-baru ini.
Pada Januari 2019, kepala intelijen senior dan beberapa perwira, tewas di pangkalan angkatan udara al-Anad di luar Aden oleh sebuah drone yang dipersenjatai. Pada Maret, Houthi merilis rekaman video drone terbang melewati pengolahan air dan pembangkit listrik Saudi Shuqaiq, 130 km dari perbatasan Yaman.
Dan yang terakhir serangan pada Sabtu, 14 September 2019 lalu, yang merusak kilang minyak Aramco. Analis terbagi tentang sejauh mana bantuan yang diberikan kepada Houthi oleh Iran.
Sebuah laporan kepada Dewan Keamanan PBB pada Januari 2018 menemukan bukti kuat bahwa drone yang diproduksi lokal memiliki kemampuan yang hampir sama dengan UAV Qasef-1 Iran. Drone dipandu GPS ke targetnya.
Jika pada masa lalu Houthi bergantung pada bantuan Iran, sekarang drone Houthi semakin banyak menggunakan bagian yang tersedia secara komersial di pasar internasional. Dengan begitu, konflik bertindak sebagai katalis untuk inovasi desain.
Sami Hamdi, pemimpin redaksi majalah internasional Interest, tidak terkejut bahwa drone digunakan dalam jumlah yang terus meningkat.
"(Kaum Houthi) mengklaim bahwa mereka membuat drone sendiri, dan belajar cara membuatnya. Di luar perang Yaman, misalnya di Irak, kami juga melihat ini di antara pasukan Kurdi. Mereka juga mampu membuat drone dan menggunakannya," kata Hamdi.
Serangan terbaru menandakan lompatan besar kemampuan sebagai drone terbang lebih dari 800 km ke Arab Saudi dan berhasil menyerang sasarannya. Drone dipandu teknologi satelit, karena di luar rentang tertentu, drone memerlukan tautan data satelit agar informasi dapat dikirim kembali ke pilot.
Satelit secara teknis memungkinkan drone untuk diterbangkan, karena banyak drone militer. Namun, mereka juga membutuhkan stasiun pilot kedua dengan akses garis pandang untuk lepas landas dan mendarat.
"Jadi, tidak aneh jika kita menemukan drone di antara orang Houthi. Mari kita juga tidak lupa bahwa mereka didukung secara logistik oleh Iran yang terus memberi keahlian tentang bagaimana mengembangkan beberapa senjata ini," tutur Hamdi.
Iran dan Houthi tidak memiliki satelit komunikasi yang diketahui dan perlu bergantung pada ruang satelit yang tersedia secara komersial. Semuanya berarti analis pencitraan, pakar komunikasi, insinyur uplink, kru pilot-dua, armourer dan mekanik semua perlu bekerja bersama agar serangan berhasil.
Kenapa Arab Saudi gagal mendeteksinya? Sebuah pesawat yang lambat dan mampu terbang selama beberapa jam ke Arab Saudi, dan tidak terdeteksi dan dicegat.
Padahal lewatnya pesawat seharusnya akan membunyikan lonceng alarm, seperti kata pensiunan jenderal angkatan udara Yordania Mamour al-Nowar kepada Al Jazeera.
"Sistem pertahanan udara mereka benar-benar gagal menangani serangan drone seperti itu dan orang Houthi sekarang memiliki kemampuan mencapai Riyadh dan Abu Dhabi. Dan berpotensi melumpuhkan negara jika mereka menabrak stasiun pompa air desalinasi atau pabrik nuklir (yang hampir dibangun) di Abu Dhabi," ujar Manour.
ALJAZEERA | INTERNATIONAL INTEREST | CNBC