TEMPO.CO, Jakarta - Bediri paling depan seorang anak bernama Diana Eugenia, 7 tahun, ikut menyuarakan krisis iklim bersama peserta aksi Climate Strike dari berbagai usia. Dengan memakai ikat kepala berwarna kuning bertuliskan 'Jeda Untuk Iklim' Diana ikut long march dari Masjid Cut Meutia ke Taman Aspirasi, Jakarta, Jumat, 20 September 2019..
Diana membawa sebuah poster bertuliskan 'Save our earth! Save our Ocean!' plus gambar Bumi dan Samudra. "Tuh lihat, save our earth, save our ocean," tutur Diana lugas dan dengan bangga menunjukkan poster karyanya tersebut.
Siswi kelas 2 di BINUS School Simprug itu mulai bergabung di Balai Kota DKI Jakarta bersama massa aksi lainnya dengan ibunya Saparia Saturi. "Enggak apa-apa, senang saja," ujar Diana yang tinggal di salah satu apartemen di Senayan, Jakarta Pusat, tentang alasannya ikut demo.
Aksi yang menyuarakan Climate Strike dimulai di titik kumpul Masjid Cut Meutia dan berakhir di Taman Aspirasi, Jakarta Pusat. Selama perjalanan long march massa aksi terus bertambah, karena banyak peserta yang menunggu di jalan rute long march, khususnya di Balai Kota DKI Jakarta.
Selama perjalanan long march Diana juga aktif mengikuti yel-yel nyanyian yang diteriakkan juru bicara aksi. "Kalau kau cinta Bumi teriak Bumi," juru bicara aksi bernyanyi. Diana pun menjawab: "Bumi," dengan tegas kompak bersama masa aksi lainnya.
Sesekali juru biaca aksi juga meneriakkan yel-yel bernada lain. "No action, no future," teriak juru bicara. Kemudian Diana kembali menyambut teriakan tersebut. "No action, no future". Diana berdiri di belakang spanduk kuning besar bertuliskan 'Darurat Iklim, Climate Emergency. Indonesia Tenggelam Kalau Kita Diam.'
Peserta aksi yang tadinya sekitar 200 orang, terus bertambah seiring perjalanan long march. Peserta mulai bertambah sampai 500 orang di Balai Kota DKI Jakarta, karena sudah ada massa aksi yang menunggu.
Selain Diana, aksi tersebut juga diikuti teman seusianya yang juga membawa atribut poster dan ikat kepala yang memiliki pesan menjaga lingkungan. Selaim poster dan ikat kepala, massa aksi juga membawa berbagai atribut aksi, mukai dari bendera, payung, sepeda, sepeda listrik, mobil dan motor listrik, plus gerobak dengan panel surya untuk sumber listrik pengeras suara.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arkiyan Suryadharma menjelaskan alasannya kenapa aksi tersebut diikuti oleh berbagai usia. Menurutnya aksi Climate Strike ini bukan aksi Greenpeace, melainkan aksi dari para pemuda penerus bangsa.
"Intinya adalah bahwa pemuda Indonesia sudah peduli dengan perubahan iklim dan masa depan, mereka khawatir karena perubahan iklim sudah sangat terasa sekarang," tutur Arki.
Menurut Arki, aksi tersebut mendorong pemerintah untuk lebih peduli dengan lingkungan dan harus menuntaskan masalah iklim yang semakin tidak bisa diprediksi. "Karena banyak hal yang dilakukan perusahaan juga pemerintah yang kurang pro aktif untuk menuntaskan perubahan iklim," ujar Arki.
Berakhir di Taman Aspirasi, peserta aksi disambut kelompok musik yang memainkan gamelan bernada lagu-lagu daerah. Setelah itu, dilanjutkan dengan orasi, musik akustik dan aksi teatrikal oleh seniman pantomim Wanggi Hoed.
Aksi Climate Strike ini dilakukan serentak di seluruh dunia pada 20 September 2019. Unjuk rasa untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim merupakan yang ketiga dari serangkaian demonstrasi iklim sedunia yang diselenggarakan oleh siswa sekolah. Unjuk rasa global ini dipimpin oleh Greta Thunberg, remaja Swedia berusia 16 tahun.