TEMPO.CO, Jakarta - Sebelum kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) meluas tahun ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisi (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memberikan peringatan kemungkinan ancaman kebakaran yang meluas.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mengingatkan soal potensi kebakaran hutan dan lahan gambut pada Februari lalu. Saat itu, BMKG memantau minimnya curah hujan dan kemunculan titik panas di sejumlah wilayah.
Sebulan berselang, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo juga mengingatkan bahwa faktor El Nino—memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur—bakal meningkatkan potensi kebakaran hutan. Jika itu terjadi, kata Doni di Bandung, BNPB bakal kesulitan memadamkan api, terutama di wilayah gambut.
Namun, dengan peringatan tersebut, kebakaran lahan gambut tetap sulit ditangani? Guru besar bidang perlindungan hutan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, menjelaskan bahwa gambut itu adalah tumpukan bahan organik ribuan tahun lalu yang membusuk dan tetap bertahan karena dijaga oleh air yang mengitarinya.
“Hanya saja ketika gambut tersebut mulai dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan maka originalitasnya mulai terganggu,” ujar Bambang kepada Tempo, Selasa, 24 September 2019.
Karena untuk penanaman di lahan gambut tidak dapat dilakukan dalam kondisi basah maka dilakukanlah pengeringan melalui pembangunan kanal-kanal. Implikasi dari adanya kanal-kanal ini mengakibatkan tinggi muka air gambut menjadi jauh dari permukaan, sehingga membuat lapisan permukaan menjadi kering dan sensitif terhadap ancaman bahaya kebakaran.
Yang menjadi persoalan, katqa Bambang, adalah ketika tinggi muka air gambut menjadi lebih besar dari baseline yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu 40 cm, sehingga sulit untuk mengembalikannya seperti semula. Apalagi gambut yang terganggu maka tidak akan bisa kembali seperti semula apalagi gambut bersifat irreversible yaitu tidak bisa kembali seperti semula dan sulit memegang air.
Kondisi seperti ini tentu saja berbahaya terhadap ancaman bahaya kebakaran. Sebab bila muka air tanah (GWL) berada jauh dari permukaan maka lapisan permukaan gambut menjadi kering hingga ketebalan tertentu yang berimbas pada peluang kebakaran bawah (ground fire) akan terjadi.
“Bila hal ini terjadi maka akan sulit untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di lahan gambut yang sudah kering tersebut, akibatnya upaya pemadaman menggunakan heli pun tidak efektif,” ujar Bambang.
Menurutnya, upaya untuk menangkal semua itu tentu saja dengan water management yang baik, sementara untuk gambut yang rusak dan sensitif maka perlu dilakukan upaya pemulihan misalnya melalui restorasi gambut secara benar.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan restorasi gambut belum maksimal. Menurut dia, BRG hanya bisa mengawasi pemulihan di luar wilayah konsesi. Masalahnya, restorasi membutuhkan waktu lama. “Di Jepang saja, untuk pemulihan 300 hektare, dibutuhkan waktu sepuluh tahun supaya wilayah gambut kembali basah,” ujar Nazir.
Untuk menumbuhkan kembali tanaman di atasnya, dibutuhkan ratusan tahun. Adapun pembakaran lahan gambut hanya membutuhkan waktu sekejap.
Para pegiat lingkungan menilai pemerintah terlambat mengantisipasi kebakaran. “Dengan kemarau panjang seperti sekarang, seharusnya pemerintah daerah dan pusat lebih sigap mencegah kebakaran,” ujar Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan, sebagaimana dikutip Majalah Tempo edisi 23 September 2019.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup Raffles B. Panjaitan menyebutkan lembaganya sudah mengantisipasi kebakaran hutan sejak Februari lalu. Salah satunya dengan menyiapkan helikopter pemadam di Riau, yang dianggap berpotensi mengalami kebakaran. "Waktu itu kebakaran bisa langsung padam karena kemaraunya tidak seperti sekarang," ujar Raffles. Menurut dia, kebakaran cepat meluas antara lain karena pemerintah daerah terlambat menetapkan status siaga.
Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Jim Gofur membantah info bahwa daerahnya terlambat menetapkan status siaga. Menurut dia, status itu sudah ditetapkan sejak Februari 2019. "Pada awal tahun memang sudah terjadi beberapa kasus kebakaran," kata Jim. Dia menilai helikopter pemerintah pusat terlambat datang untuk memadamkan api. Setelah api membesar sekitar Juli-Agustus, “Baru ada penambahan helikopter,” ucapnya.