TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat hutan dan lahan gambut yang terbakar sepanjang tahun ini mencapai 328 ribu hektare, sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo edisi 23 September 2019. Walhasil, asap menyebar ke berbagai wilayah, bahkan hingga Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Kabut asap juga mengakibatkan sekolah di sejumlah provinsi diliburkan dan penerbangan terganggu. Adapun luas lahan yang terbakar di lahan konsesi lebih dari 9.000 hektare.
Kondisi serupa melanda Indonesia pada 2015. Saat itu, ada sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan yang terbakar. Hasil riset Bank Dunia yang dirilis pada Februari 2016 menunjukkan kerugian mencapai US$ 16,1 miliar atau sekitar Rp 221 triliun.
Hingga Jumat dua pekan lalu, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK telah menyegel lahan milik 52 perusahaan dan seorang individu di Sumatera dan Kalimantan. Menurut Rasio, jumlahnya mungkin bakal terus bertambah.
Untuk kebakaran tahun ini, KLHK menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka pembakaran hutan. Dua di antaranya PT Arrtu Borneo Perkebunan dan Arrtu Borneo Resources. Kedua perusahaan itu dimiliki PT Eagle High Plantations, perusahaan yang dimiliki PT Rajawali Corpora—perusahaan yang sahamnya dipunyai pengusaha Peter Sondakh—dan Felda, perusahaan asal Malaysia. Berdasarkan pemetaan Auriga Nusantara, di lahan Arrtu Energie Resources tahun ini muncul 143 titik panas.
Peter tak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo. Begitu pula Sekretaris Perusahaan Eagles High Plantations Satrija Budi Wibawa. Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang membantah kabar bahwa anggota asosiasinya terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. “Untuk apa kami membakar investasi kami sendiri?” ujarnya.
Togar menyalahkan penduduk sekitar perkebunan yang kerap membakar lahan. Menurut dia, pembakaran itu akhirnya merembet ke perkebunan milik perusahaan. “Dengan musim kemarau panjang dan angin kencang, akhirnya timbul kebakaran. Yang mudah disalahkan ya perusahaan sawit.”
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan tak tertutup kemungkinan perusahaan membakar sendiri lahannya. “Alibinya memang begitu, tidak mungkin membakar lahan sendiri. Tapi bisa saja mereka membakar untuk mengganti tanaman yang kualitasnya jelek,” ujarnya.
Tempo menemui seorang pelaku pembakaran lahan yang mengaku sudah bertobat. Abdul, bukan nama sebenarnya, warga Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, mengatakan selalu menggunakan obat nyamuk bakar yang pangkalnya diberi batang korek api berlumur minyak tanah atau bensin. Saat situasi sepi, obat nyamuk berbentuk spiral itu diletakkan di lahan gambut kering. Ketika api melalap gambut dan serasah di sekitarnya, dia sudah berada di rumah.
Cara itu jauh lebih murah dan cepat untuk membuka lahan. Jika menyewa alat berat, kata Abdul, biayanya Rp 600 ribu per jam atau Rp 7 juta dengan sistem borongan per hektare. Menurut dia, cara ini jamak dilakukan peladang ataupun mereka yang bekerja di perusahaan sawit.
Dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Asep Sofyan, mengatakan membakar lahan merupakan cara lawas yang masih digunakan sebagian masyarakat petani untuk menetralkan tingkat keasaman gambut.
Ongkos membuka lahan pun lebih murah ketimbang menyewa alat berat. Mereka juga memakai kearifan lokal dengan membangun sekat bakar untuk mencegah api menjalar. “Tidak dibakar dalam waktu bersamaan, dan membatasi jumlah lahan yang dibakar,” kata peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB itu.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo mengatakan hampir semua kasus kebakaran hutan terjadi karena kesengajaan. Menurut dia, 99 persen penyebab kebakaran adalah manusia, sisanya alam. “Mayoritas pelaku menerima bayaran,” ujar Doni.
Senada dengan Doni, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Raffles B. Panjaitan mengatakan bisa saja perusahaan membayar orang untuk membakar lahannya. Setelah itu, perusahaan menikmati hasilnya. "Biasanya, setelah terbakar, ditanami sawit atau berubah menjadi perumahan.”
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan gambut mudah terbakar meski tak dipicu api, seperti jika ada panas berlebihan. Itulah sebabnya dibutuhkan tanaman tutupan di atasnya.
Namun, Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, mengatakan sepanas apapun gambut, namun karena gambut itu bahan bakar, maka dia tidak akan terbakar dengan sendirinya dan untuk terbakar itu perlu nyala api.