TEMPO.CO, Jakarta - Dalam tesis yang ditulis mahasiswa S2 Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatta Putra disebutkan bahwa likuefaksi di Kota Padang pernah terjadi pada 2009 akibat gempa. Hatta menuliskan, Kota Padang secara geografis berada d ipertemuan patahan Lempeng Indo–Australia dan Eurasia.
"Keadaan tersebut menyebabkan aktivitas tektonik kerap terjadi. Dilihat secara vulkanologi, Kota Padang berada pada Geologi Kuater terdiri dari lapisan aluvial yang merupakan jenis pasir lepas, lanau lepas hingga lempung lunak," tulis Hatta, pada 2015 lalu.
Dalam tesis yang berujudul "Analisa Risiko Likuefaksi di Kota Padang," juga dijelaskan bahwa peristiwa gempa Padang 2009 telah menyebabkan terjadi sebuah fenomena likuefaksi. Gempa Padang terjadi pada 30 September 2009, yang menurut pendapat para ahli dipicu oleh pelepasan energi di patahan Sumatera (sesar Semangko) melalui segmen Singkarak.
Hasil penelitian dari Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) Kelautan dan Perikanan menjelaskan bahwa likuefaksi pernah terjadi di Kota Padang memiliki tiga zona, yang terbagi berdasarkan potensi kerusakannya.
Peneliti dari LRSDKP, Wisnu Arya Gemilang, mengatakan, di sejumlah daerah pantai wilayah pesisir Sumatera Barat didominasi pasir lepas dengan kedalaman muka air tanah sangat dangkal dan kepadatan yang lemah.
"Bentuk butiran pasir yang seragam hingga beberapa kilometer dari bibir pantai, menjadi ciri kondisi tanah yang berpotensi terjadi likuefaksi," kata Wisnu.
Ia membagi potensi likuefaksi di Padang menjadi sangat tinggi, sedang, dan rendah. "Untuk sangat tinggi berada di sepanjang pesisir dan semakin ke timur potensinya semakin rendah," tuturnya.
Menurutnya saat gempa 2009 telah terjadi likuefaksi di kawasan Pantai Padang, yang bersifat amblas. Wisnu merekomendasikan kawasan pantai tidak disarankan untuk didirikan bangunan besar.
Dalam jurnal berjudul "Back Analysis Fenomena Likuefaksi Akibat Gempa Pada 2009 Menggunakan Metode Semi Empiric" ditulis bahwa akibat gempa Padang diperoleh data di lapangan beberapa lokasi berpotensi mengalami likuefaksi. Penelitian tersebut ditulis oleh Rini Kusumawardani dan rekannya dari Universitas Negeri Semarang, yang terbit tahun lalu.
"Akibat lempeng Indo–Australia menuju Eurasia yang pergerakannya diperkirakan 5-7 cm per tahun, bagian barat bergerak ke selatan dan bagian timur bergerak ke utara. Jika pergerakan segmen itu sudah berlangsung cukup lama, maka akan memicu terjadinya gempa besar dan likuefaksi," tertulis dalam penelitian.