TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengungkapkan bahwa peleburan aki bekas ilegal merupakan salah satu bentuk genosida ekologi.
"Genosida ekologi itu kan dapat diartikan sebagai pembunuhan atau pembasmian manusia dengan cara-cara lingkungan. Peleburan aki ilegal ini menjadi salah satunya karena mencemari lingkungan dan berdampak kesehatan bagi pekerja dan masyarakat di sekitar kawasan peleburan," kata Ahmad di Jakarta akhir pekan ini.
Dampak yang mungkin terjadi, kata Ahmad, ialah penurunan IQ pada anak-anak, cacat fisik dan mental pada janin dan balita, tremor, kerusakan permanen fungsi ginjal atau otak, frigiditas pada perempuan, impotensi pada laki-laki, hingga kematian.
Ahmad menyebutkan bahwa peleburan aki bekas itu menuntut teknologi dan metodologi yang sarat modal. Sementara itu, usaha peleburan aki bekas ilegal ini dikerjakan serba manual. Akibatnya yang paling berisiko adalah pekerjanya. "Mereka paling lama kerja paling dua tahun. Habis itu ke mana? Ya kalau nggak sakit, meninggal. Karena semua serba manual," lanjutnya.
Selain pekerja, masyarakat di sekitar kawasan peleburan aki bekas ilegal juga turut terdampak bahaya kronis dari usaha ini. Pada tahun 2017, KPBB melakukan penelitian terkait dampak peleburan aki bekas ilegal ini, salah satunya di kawasan Cinangka, Kabupaten Bogor.
Penelitian ini melihat tingkat timbel dalam darah, kandungan timbel di udara, jendela/ventilasi rumah, hingga di lantai.
"Penelitian itu mengungkapkan bahwa rata-rata anak-anak usia sekolah di Cinangka memiliki kandungan timbel dalam darah mencapai 36,63 μg/dL. Yang paling tinggi ditemukan pada anak perempuan usia 7 tahun mencapai angka di atas 65 μg/dL," ungkap Ahmad.
Ahmad menyayangkan hal ini lantaran batas toleransi kadar timbel dalam darah seseorang yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO adalah 5 μg/dL.
Lebih jauh lagi, Ahmad mengungkapkan bahwa selama melakukan penelitian di Cinangka, KPBB mencatat ada 21 anak yang menjadi korban akibat usaha peleburan aki bekas ilegal ini.
"Anak-anak itu ada yang mengalami wrist drop, foot drop, autis, down syndrome, kejang-kejang," ungkap Ahmad. Selain itu, ia menegaskan bahwa jumlah ini belum termasuk warga yang sudah meninggal dan pindah tempat tinggal.
Dengan demikian, Ahmad berpendapat bahwa peleburan aki bekas ilegal ini sebagai salah satu bentuk genosida ekologi. "Maaf maaf saja, mereka (anak-anak) yang terdampak memang masih hidup, tapi mereka bergantung sepenuhnya pada keluarga, tak bisa menikmati kehidupan, apalagi bersaing di dunia industri. Ya ini namanya sudah dibasmi," ujar Ahmad.
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan KPBB pada tahun 2009, kata Ahmad, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) ini ada 71 titik yang teridentifikasi sebagai tempat peleburan aki bekas ilegal.
Tak hanya itu, Koordinator Program KPBB Alfred Sitorus juga mengungkapkan usaha ilegal ini juga sudah merambah hingga ke wilayah seperti Tegal, Pasuruan, Lamongan, Sidoarjo, Medan, hingga Lampung.
"Di Lamongan sendiri ada sekitar 30 tempat peleburan aki bekas ilegal. Untuk Pasuruan sekitar 10, Sidoarji ada 5 tempat, bahkan di Tegal arah Klaten ada sekitar 50 tempat," ujar Alfred pada kesempatan yang sama.
Dengan demikian, KPBB mendesak pemerintah menghentikan praktik usaha ilegal ini dan menghukum pelakunya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
GALUH PUTRI RIYANTO