TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hatari mengungkapkan bahwa Facebook mendukung e-government, baik di sektor pemerintahan daerah maupun pusat.
"Satu tahun terakhir ini, Facebook menjalankan program yang disebut laju digital. Salah satu kegiatannya ialah memberikan pelatihan, rata-rata di pemerintah daerah tapi mencakup pusat juga," ungkap Ruben di Kantor Facebook Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa 5 November 2019.
Program laju digital ini, kata Ruben, tujuan utamanya adalah untuk melihat pemanfaatan Facebook secara optimal. "Awalnya itu berangkat di Indonesia bagian timur, kami melihat ternyata sepertinya bisa nih Facebook membuat pelatihan untuk optimalkan penggunaan Facebook. Selain pemerintah, kami juga ngasih pelatihan ke UKM maupun komunitas," lanjutnya.
Menurut Ruben, saat ini pelatihan laju digital sudah dilaksanakan di 18 kota di Indonesia. Salah satu instansi pemerintah yang mendapatkan pelatihan laju digital ini ialah Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi).
"Admin-admin kami mendapatkan pelatihan dari tim Facebook sekitar bulan Maret atau April 2019 ini. Tim Facebook memberi kami pencerahan soal bagaimana mengubah bahasa-bahasa imigrasi yang kaku itu bisa menyentuh audiens kami, bikin video hingga infografis," ujar Staf Analisis Pengaduan Masyarakat Ditjen Imigrasi Muhammad Fijar Sulistyo pada kesempatan yang sama.
Fijar menyebutkan bahwa pelatihan ini membuat Ditjen Imigrasi menjadi lebih lunak dan santai saat berkomunikasi dengan audiensnya melalui platform Facebook. Saat ini, kata Fijar, Ditjen Imigrasi sudah secara aktif mengoptimalkan peran media sosial melalui keluarga Facebook, yaitu melalui Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
"Sebenarnya pemanfaatan media sosial ini merupakan barang baru di Ditjen Imigrasi. Awalnya saat Presiden Jokowi menjabat pertama kali di 2014, beliau sangat menggencarkan pemanfaatan media sosial untuk pelayanan masyarakat. Makanya kami mulai dari situ," kata Fijar.
Lebih jauh lagi, Fijar mengungkapkan bahwa Ditjen Imigrasi menggunakan Facebook dan Instagram untuk saluran publikasi maupun penyebaran informasi keimigrasian. "Sekarang gampang, kami bisa sebarkan informasi, misalnya syarat pembuatan visa atau paspor, tinggal lewat Facebook atau Instagram," lanjutnya.
Di saat yang bersamaan, kata Fijar, Ditjen Imigrasi bisa berkomunikasi dengan audiensnya melalui kolom komentar maupun pesan langsung (direct message). "Kami menyebut audiens Ditjen Imigrasi itu sebagai sahabat Mido (migrasi Indonesia). Sehari kami bisa melayani 70-80 pertanyaan maupun pengaduan yang masuk ke media sosial kami," lanjutnya.
Sementara itu, kata Fijar, Ditjen Imigrasi juga telah memanfaatkan WhatsApp untuk mengoptimalkan pelayanan keiimigrasian. "Kami menggunakan WhatsApp untuk mendata kuota antre masyarakat yang akan mengurus dokumen keimigrasian. Jadi bapak/ibu nggak perlu lagi antre di kantor imigrasi dari jam dua pagi dan juga bapak/ibu nggak perlu berjubel-jubel lagi di kantor imigrasi," kata dia.
Selain itu, Fijar menyebutkan Ditjen Imigrasi juga memanfaatkan WhatsApp Gateaway untuk membantu memberikan informasi kepada masyarakat bahwa dokumen keiimigrasian yang diurusnya telah selesai. "Kami merasa dengan WhatsApp ini semakin memangkas birokrasi dan membuatnya lebih cepat dan efisien," lanjutnya.
Facebook baru-baru ini meluncurkan sebuah studi berjudul 'Dampak Sosial dan Ekonomi Facebook bagi Indonesia'. Studi ini melibatkan 1.200 responden individual dari 34 provinsi di Indonesia. Selain itu juga mencakup tiga segmen responden tambahan yang tersebar di 15 kota di Indonesia, yaitu 1.033 grup bisnis, 565 organisasi komunitas serta 410 pemerintahan.
Menyusul studi tersebut, dari segi pemerintah, Ruben menyebutkan bahwa Facebook sebesar 75 persen turut membantu pemerintah untuk menginformasikan publik seputar rencana hingga kebijakan pemerintahan. "Selain itu, Facebook juga membantu sebanyak 84 persen meningkatkan keterbukaan dan transparansi. Facebook juga 95 persen meningkatkan feedback dari publik," ujar Ruben.
GALUH PUTRI RIYANTO