TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan teknologi finansial PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha meluncurkan sebuah studi berjudul 'Dampak Teknologi Finansial dalam Pemberdayaan Perempuan di Pedesaan'.
Studi hasil kolaborasi dengan Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM) melibatkan 88 mitra Amartha yang berprofil perempuan dan tinggal di wilayah pedesaan Indonesia. Salah satu temuan dari studi ini ialah mayoritas mitra Amartha tidak memiliki akses pada internet.
"Menurut survei, 62,5 persen responden tidak memiliki perangkat yang memungkinkan untuk mereka terhubung dengan internet," ungkap Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari saat pemaparan hasil studi di GoWork fX Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu 6 November 2019.
Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari menyebutkan bahwa mayoritas mitra Amartha tidak memiliki gawai untuk mengakses internet. TEMPO/Galuh Putri Riyanto
Dari hasil survei, Diah menyebutkan bahwa ketidakpemilikan gawai cenderung akan semakin besar di usia lanjut atau 49 tahun ke atas. "Kalau dari segi pendidikan, kebanyakan mitra yang tidak punya gawai ialah yang tidak sekolah dan tamatan sekolah dasar," katanya.
Sementara sisanya atau sebanyak 37,5 persen responden, kata Diah, menggunakan perangkat mereka untuk mengakses hiburan dan berkomunikasi melalui platform media sosial seperti Facebook dan Youtube. "Sayangnya, mitra Amartha ini belum memanfaatkan internet lebih jauh lagi untuk keperluan pekerjaan atau bisnis mereka. Jadi hanya sebatas untuk komunikasi dan hiburan saja," ujar Diah.
Padahal, menurut Diah, penggunaan perangkat teknologi informasi komunikasi (TIK) itu sebenarnya dapat mendukung pekerjaan, ruang ekspresi, dan menyediakan akses informasi bagi mitra Amartha.
Lebih jauh lagi, Diah mengungkapkan ada dua faktor yang memengaruhi seseorang mengadopsi TIK. Faktor pertama ialah persepsi atas manfaat yang diberikan oleh TIK.
"Kalau dilihat dari responden yang kami temui, tingkat adopsi TIK itu masih rendah karena mereka tidak melihat adanya manfaat dari penggunaan TIK bagi pekerjaan mereka. Mereka mempertanyakan kenapa mereka harus belajar menggunakan handphone dan internet kalau sehari-harinya hanya pergi ke sawah, membuat kue, atau menjahit baju," ungkap Diah.
Faktor lainnya ialah persepsi atas kemudahan dalam TIK. "Ibu-ibu ini merasa menggunakan handphone itu ribet dan sulit karena tombolnya banyak. Selain itu juga mereka takut salah menggunakannya, misalnya tiba-tiba menelpon orang lain," katanya.
Dengan melihat fenomena kesenjangan digital dan minimnya adopsi TIK pada studi kasus mitra Amrtha ini, Diah berharap pemerintah, perusahaan fintech seperti Amartha, dan pihak lainnya mau ikut andil untuk mengatasi fenomena ini.
GALUH PUTRI RIYANTO