TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) berkolaborasi dengan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menghadirkan solusi listrik siap pakai dari biogas bernama Bionika untuk desa-desa tertinggal.
"Menurut data Kementerian Desa tahun 2018, masih ada 17.000 desa atau setara dengan 850 ribu keluarga di Indonesia yang belum dialiri oleh listrik," ungkap Richardo Petricius Sutoyo, mahasiswa ITS sekaligus CEO Bionika saat lomba IdeaPitch Battle di gelaran Ideanation Future Festival (IFF) 2019 di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan, Jumat, 8 November 2019.
"Jika keadilan sosial adalah hak segala elemen masyarakat, maka kami (Bionika) mencoba satu langkah kecil yaitu membagikan terang ke seluruh pelosok negeri yang bersumber dari biogas," katanya.
Richardo menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi bio energi terbesar di dunia. Sayangnya, menurutnya, masyarakat Indonesia sebagian besar hanya memanfaatkan biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi.
"Padahal masih banyak sumber organik lain yang bisa diakses menjadi biogas, mulai dari limbah hutan, pertanian peternakan, dan limbah industri, bahkan feses," kata Richardo.
Richardo menceritakan bahwa inovasi ini bermula dari penelitian di salah satu desa di Pasuruan, Jawa Timur, yang menerima 1000 bio reaktor hibah. "Sayangnya, satu instalasi biogas hibah tersebut harus membuat surplus rata-rata 2000 liter biogas karena pemanfaatannya yang minim yaitu untuk memasak dan lentera saja," ujar Richardo.
"Makanya, Bionika hadir untuk bisa mengonversi biogas menjadi listrik siap pakai menggunakan purifikasi water scrubber dan genset dual fuel," imbuhnya.
Lebih jauh lagi, Richardo menguraikan proses konversi dari biogas menjadi listrik siap pakai. Pertama, dibutuhkan limbah yang dapat menghasilkan gas metana, misalnya kotoran sapi atau limbah lainnya.
"Lalu aduk semua itu hingga dia menjadi lumpur. Kemudian alirkan ke digester dan tunggu selama 30 hari. Setelah itu, Anda akan mendapatkan biogas," ujar dia.
Namun, kata Richardo, hasil biogas itu masih mengandung zat pengotor seperti karbon dioksida, hidrogen sulfida, air, dan amonia. "Zat-zat pengotor tersebut dapat menghambat proses pembakaran. Di sinilah peran alat purifikasi water scrubber kami, yaitu untuk mengurangi zat pengotor. Setelah proses penyaringan, alirkan biogas ke dalam tabung untuk mengurangi tekanan. Lalu, alirkan ke genset dual fuel yang telah dimodifikasi," ungkapnya.
"Terakhir, nyalakan genset Anda dan listrik siap pakai," lanjutnya.
Richardo menyebutkan inovasi ini telah dikembangkan sejak 2013 bersama dua mahasiswa lainnya, yakni Afi Nur Nafisah dari UNJ dan Brian Barella dari ITS. Pada 2016 hingga 2018, Bionika sudah berhasil mengembangkan alat, mematenkan temuannya, hingga membangun perseroan terbatas (PT).
"Baru pada tahun 2019, kami memulai komersialisasi. Sudah ada tiga desa yang menjadi pemberdayaan kami dengan 4 alat terjual. Selain itu, Kementerian Sosial RI juga telah memesan 3 alat dari kami," ujarnya.
Bionika, menurut Richardo, menargetkan ada 90 desa yang bisa diberdayakan dengan alat mereka di tahun 2022. "Di mana 4500 kepala keluarga terbantu, 600 instalasi terpasang, dan pendapatannya mencapai Rp 12 miliar," kata CEO Bionika itu.
Karena solusi yang dipaparkannya, Bionika menang menjadi juara favorit dalam lomba IdeaPitch Battle yang diselenggarakan oleh IFF 2019. Richardo dan kawan-kawan mengalahkan 7 kelompok lainnya dari empat kategori berbeda.
Najwa Shihab, salah satu juri dalam lomba tersebut, mengungkapkan rasa bangganya pada para peserta yang ikut berkompetisi. "Kalau anak-anak mudanya hadir dengan inovasi-inovasi seperti ini, kita rasanya bisa optimis dengan masa depan bangsa ini," ungkap Najwa .
GALUH PUTRI RIYANTO