TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan tampaknya telah memecahkan misteri beberapa dekade tentang bagaimana alam semesta kita terbentuk. Dalam teori ledakan besar (Big Bang) yang menceritakan tentang bagaimana jagat raya kita terbentuk, fisikawan masih menemukan misteri di dalamnya.
Pada periode pertama, alam semesta tumbuh dari titik kecil menjadi hampir satu triliun (yaitu 1 diikuti oleh 27 nol) kali dalam ukuran kurang dari satu triliun detik.
Periode inflasi ini diikuti oleh periode ekspansi yang lebih bertahap, yang kita kenal sebagai Big Bang. Selama Big Bang, bola api yang sangat panas dari partikel-partikel fundamental - seperti proton, neutron, dan elektron - meluas dan mendingin untuk membentuk atom, bintang, dan galaksi yang kita lihat sekarang.
Teori Big Bang, yang menggambarkan inflasi kosmik, tetap merupakan penjelasan yang paling banyak didukung tentang bagaimana alam semesta kita dimulai. Namun para ilmuwan masih bingung dengan bagaimana periode ekspansi yang sepenuhnya berbeda ini terhubung.
Untuk mengatasi teka-teki kosmik ini, tim peneliti di Kenyon College, Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Leiden University Belanda mensimulasikan transisi kritis antara inflasi kosmik dan Big Bang yang disebut sebagai periode 'pemanasan ulang'.
"Periode pemanasan ulang pasca-inflasi menetapkan kondisi untuk Big Bang dan menempatkan 'bang' dalam Big Bang," ungkap David Kaiser, seorang profesor fisika di MIT, mengatakan dalam sebuah pernyataan. "Ini periode jembatan di mana semua laut api terlepas dan materi berperilaku dalam cara yang sederhana," tambahnya.
Sementara itu, seorang mahasiswa doktoral bidang fisika di University of Illinois dan penulis utama studi tersebut Rachel Nguyen menyebutkan bahwa ketika alam semesta meluas dalam sekejap selama inflasi kosmik, semua materi yang ada tersebar.
Hal ini mengakibatkan alam semesta menjadi tempat yang dingin dan kosong, tanpa sup panas dari partikel yang diperlukan untuk menyalakan Big Bang. "Selama periode pemanasan ulang, inflasi yang mendorong energi diyakini menjadi partikel-partikel," imbuhnya.
Dalam model mereka, Nguyen dan koleganya mensimulasikan perilaku bentuk materi eksotis yang disebut inflatons. Para ilmuwan berpikir partikel-partikel hipotetis ini, yang sifatnya mirip dengan boson Higgs, menciptakan medan energi yang mendorong inflasi kosmik.
Model mereka menunjukkan bahwa, dalam kondisi yang tepat, energi inflaton dapat didistribusikan kembali secara efisien untuk menciptakan keragaman partikel yang diperlukan untuk memanaskan kembali alam semesta. Mereka menerbitkan hasil penelitiannya pada 24 Oktober dalam jurnal Physical Review Letters.
"Ketika kita mempelajari alam semesta awal, apa yang sebenarnya kita lakukan adalah eksperimen partikel pada suhu yang sangat, sangat tinggi," kata Tom Giblin, seorang profesor fisika di Kenyon College di Ohio dan rekan penulis penelitian.
"Transisi dari periode inflasi dingin ke periode panas adalah sesuatu yang harus memiliki beberapa bukti kunci mengenai partikel apa yang benar-benar ada pada energi yang sangat tinggi ini."
Satu pertanyaan mendasar yang mengganggu fisikawan adalah bagaimana gravitasi berperilaku pada energi ekstrem yang ada selama inflasi. Dalam teori relativitas umum Albert Einstein, semua materi diyakini dipengaruhi oleh gravitasi dengan cara yang sama, di mana kekuatan gravitasi konstan, terlepas dari energi partikel. Namun, karena dunia aneh mekanika kuantum, para ilmuwan berpikir bahwa, pada energi yang sangat tinggi, materi merespons gravitasi secara berbeda.
Tim memasukkan asumsi ini dalam model mereka dengan menyesuaikan seberapa kuat partikel berinteraksi dengan gravitasi. Mereka menemukan bahwa semakin mereka meningkatkan kekuatan gravitasi, semakin efisien inflaton mentransfer energi untuk menghasilkan partikel-partikel materi panas yang ditemukan selama Big Bang.
Sekarang, mereka perlu menemukan bukti untuk menopang model mereka di suatu tempat di alam semesta.
"Alam semesta menyimpan begitu banyak rahasia yang dikodekan dengan cara yang sangat rumit," kata Giblin kepada Live Science. "Adalah tugas kita untuk belajar tentang sifat realitas dengan membuat alat decoding - cara untuk mengekstrak informasi dari alam semesta. Kami menggunakan simulasi untuk membuat prediksi tentang seperti apa jagat raya sehingga kita dapat mulai mendekodekannya. Periode pemanasan ulang ini seharusnya meninggalkan jejak di suatu tempat di alam semesta. Kita hanya perlu menemukannya," lanjutnya.
Tetapi, menurut Giblin, menemukan jejak itu bisa rumit. Sekilas tentang alam semesta adalah gelembung radiasi tersisa dari beberapa ratus ribu tahun setelah Big Bang, yang disebut latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB). Namun CMB hanya mengisyaratkan keadaan alam semesta selama detik-detik kritis pertama kelahiran. Fisikawan seperti Giblin berharap pengamatan gelombang gravitasi di masa depan akan memberikan petunjuk terakhir.
GALUH PUTRI RIYANTO | LIVE SCIENCE