TEMPO.CO, Jakarta - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang dan IAR Indonesia kembali melepasliarkan satu orangutan dewasa berumur 20 tahun di kawasan Taman Nasional Gunung Palung, Kabupaten Ketapang.
"Orangutan tersebut dilepasliarkan setelah sebulan menjalani masa pemulihan dengan kondisi mata kiri mengalami kebutaan. Orangutan ini merupakan korban Karhutla 2019," kata Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez dalam keterangan tertulisnya di Pontianak, Selasa, 12 November 2019.
Ia menjelaskan, diperlukan waktu sekitar 12 jam menggunakan kendaraan dan jalan kaki menuju titik pelepasan. "Hingga saat ini tercatat sudah sebanyak 15 orangutan dilepasliarkan di Gunung Tarak sejak 2014," katanya.
Ia menambahkan, guna memastikan kondisi orangutan itu selamat dan mampu melanjutkan hidupnya, pihaknya menempatkan tim patroli dan monitoring yang telah berada di sana sebagai bagian dari prosedur yang ditetapkan IAR Indonesia dalam program pelepasliaran orangutan.
"Meskipun salah satu matanya mengalami kebutaan, kami yakin bahwa hal tersebut tidak akan mengurangi kemampuannya untuk bertahan hidup, karena orangutan dikenal sebagai satwa cerdas dengan tingkat kemampuan adaptasi yang tinggi," katanya.
Manager Survey, Release, dan Monitoring IAR Indonesia, Argitoe Ranting menyatakan, sebelumnya pihaknya juga pernah melepaskan orangutan yang satu kakinya lumpuh akibat peluru pada 2016 di kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak.
"Setelah dipantau beberapa bulan, terbukti orangutan itu mampu bertahan hidup dengan normal walaupun salah satu kakinya lumpuh akibat ada belasan peluru yang beberapa di antaranya mengenai saraf tulang belakangnya," ujar .
Karena itu, kata dia, orangutan dengan satu mata tidak akan berpengaruh banyak dalam kemampuan bertahan hidupnya karena kemampuan adaptasi cukup bagus di alam liar. "Kami yakin Junai (nama orangutan itu) akan baik-baik saja dan senang dengan rumah barunya ini," katanya.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor menyatakan, sebagai penggiat konservasi, maka mempunyai satu pekerjaan rumah, yakni membangun pola pikir masyarakat untuk lebih peduli pada hutan, ekosistem dan satwa liar.
"Kerja-kerja konservasi sudah banyak dilakukan, tapi penganiayaan terhadap satwa liar masih saja terus berlangsung. Penyelamatan satwa liar sudah sering dilakukan, namun itu tidak akan pernah cukup selama kita tidak mampu mengubah pola pikir masyarakat dan generasi muda untuk lebih ramah pada satwa liar," katanya.
Hal senada juga diakui oleh, Kepala Dinas Kehutanan Kalbar, Untad Dharmawan. "Pelepasliaran satwa liar ke habitat aslinya pada dasarnya bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekologis pada suatu ekosistem dalam hal ini adalah ekosistem hutan," katanya.
Orangutan sebagai salah satu satwa langka yang dilindungi merupakan satwa khas bumi Kalimantan yang saat ini kehidupannya terancam punah akibat berbagai macam tekanan terhadap keberadaan hutan sebagai habitat kehidupan mereka.
"Tekanan berupa deforestasi, desertifikasi, overeksploitasi hutan, kebakaran hutan dan ditambah lagi perburuan liar semakin mengancam keberadaan orangutan," ujarnya.
Dia mengapresiasi IAR Indonesia yang terus berupaya menyelamatkan, merawat, merehabilitasi dan melepasliarkan orangutan ke habitatnya.