TEMPO.CO, Bandung - Peneliti BMKG Bandung, Yan Firdaus Permadhi mengatakan, penyebab angin puting beliung di musim hujan berbeda dengan saat musim kemarau. “Pada musim penghujan penyebabnya bukan karena panas terik mengenai wilayah terbuka, tapi karena pertumbuhan awan cumulonimbus atau awan konvektif,” kata dia di Bandung, Selasa, 19 November 2019.
Yan mengatakan, angin kencang di musim kemarau terjadi karena panas matahari di wilayah yang relatif terbuka. “Pada musim kemarau, angin kencang disebabkan pusat tekanan rendah lokal di suatu tempat, terjadi di areal terbuka. Penyebabnya ada wilayah terbuka terkena panas cukup tinggi dan terjadi angin puting beliung,” kata dia.
Sementara di musim penghujan, berbeda. Angin puting beliung terjadi karena faktor pertumbuhan awan cumulonimbus. “Pertumbuhan awan cumulonimbus atau awan konvektif yang cukup tebal pada saat sebelum atau terjadi hujan, akan menghasilkan angin downburst. Angin seruak yang tiba-tiba keluar dari atas ke bawah. Itu yang menyebabkan angin kencang di beberapa daerah,” kata Yan.
Yan mengatakan, potensi terjadinya angin puting beliung makin besar saat pertumbuhan awan cumulonimbus makin banyak. “Semakin banyak awan tumbuh, semakin tinggi juga potensi terjadinya angin kencang di daerah tersebut,” kata dia.
Menurut Yan, fenomena ini berhubungan dengan temperatur udara yang lebih terasa panas siang hari di musim penghujan. Sementara di musim kemarau, sebaliknya, temperatur udara menjadi relatif lebih dingin dari biasanya.
Di musim kemarau tahun ini misalnya, temperatur udara dini hari di Bandung tercatat paling rendah menembus 14 derajat Celcius. Yan mengatakan, kendati relatif dingin, tapi suhu terendah itu belum memecahkan rekor di Bandung. “Rekor terendah 11 derajat Celcius,” kata dia.
Yan juga mengatakan, saat mulai masuk musim hujan, temperatur siang hari relatif lebih panas karena dipengaruhi pertumbuhan awan. Saat awan yang tumbuh tidak menjadi hujan, temperatur udara menjadi relatif lebih panas. “Awan menyimpan kalor laten yang dilanjutkan ke permukaan bumi. Ketika tidak terjadi hujan, awan itu akan memberikan panas yang dia serap sebelumnya,” kata dia.
Yan mengatakan, udara siang hari saat musim hujan tidak hanya relatif lebih panas, tapi juga lembap. Udara lembap itu dipengaruhi oleh keberadaan awan tersebut. “Dengan kelembaban tinggi yang dimiliki awan itu maka panas ditambah lembap itu kita rasakan udara lebih panas dan lembap,” kata dia.