TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Wahana Lingungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menghentikan wacana penghapusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam pengurusan perizinan investasi.
"Meskipun baru wacana, kami kira lontaran wacana publik dari Menteri dan dilanjutkan oleh Wamen ATR/BPN beberapa waktu lalu untuk menghapuskan Amdal dan IMB ini menjadi sembrono karena sebenarnya belum memiliki kajian strategis dan belum ada referensi yang jelas," ungkap Kepala Desk Politik Eksekutif Nasional (Eknas) Walhi Khalisah Khalid di Jakarta, Senin 25 November 2019.
Walhi menilai pemerintah, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, menganggap Amdal dan IMB ini menjadi penghambat investasi sehingga ingin menghapuskannya. Padahal, menurut Perwakilan Walhi Jawa Tengah Abdul Ghofar, dalam teori pembangunan ada tiga pilar utama yang harus dipertimbangkan, yaitu pilar lingkungan, sosial, dan ekonomi.
"Apalagi kalau dalam konteks pembangunan berkelanjutan, ketiganya itu saling beririsan. Kami melihat saat ini pemerintah hanya mengedepankan pilar ekonomi saja," ungkap Abdul pada kesempatan yang sama.
Lebih lanjut lagi, Manajer Tata Ruang dan GIS Eknas Walhi Achmad Rozani menyampaikan bahwa Amdal, IMB, serta rencana detail tata ruang (RDTR) merupakan suatu kesatuan instrumen penting pada sebuah pembangunan. "Terutama Amdal, ini menjadi instrumen penting sebagai alat yang melibatkan masyarakat secara luas yang akan menjadi penerima dampak dari pembangunan tersebut," lanjutnya.
Sedangkan IMB, Achmad menyebutkan juga penting sebagai alat kontrol pemerintah atas tata ruang serta sebagai acuan penentuan pajak dan retribusi daerah. "Penghapusan IMB akan membuat tata ruang tidak berguna dan potensi penyalahgunaan bangunan tanpa pajak akan meningkat," ujar Achmad pada kesempatan yang sama.
Selain itu, Abdul menyampaikan bahwa Amdal dan IMB merupakan instrumen yang melengkapi pilar lingkungan dan sosial. "Karena di dalamnya ada konsultasi publik, ada assessment respons masyarakat terhadap suatu proyek, menerima atau menolak, bagaimana nanti assessment terkait berapa banyak potensi pencemaran yang akan terjadi dan bagaimana mengatasinya," ujar Abdul.
Sementara, kata Achmad, RDTR secara prinsip berisi soal zonasi kawasan yang melingkupi konteks perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian. "RDTR hanya mengatur zonasi di kawasan itu akan dibangun apa saja, bukan mengatur proyeknya. Perbandingan skalanya juga 1:5000. Makanya ketiganya ini merupakan sebuah kesatuan yang saling melengkapi, bukan saling menggantikan," imbuhnya.
Walaupun pada praktiknya, Amdal, IMB, dan RDTR belum berjalan secara ideal, Khalisah menegaskan ketiga instrumen ini tetap bisa menjadi alat mitigasi penghancuran lingkungan hidup di Indonesia akibat pembangunan.
"Mempermudah perizinan sama dengan mempercepat kerusakan lingkungan. Makanya, kalau wacana ini tidak segera direspons, ini akan berbahaya bagi masa depan lingkungan hidup di Indonesia dan rakyat ke depannya," ujar Khalisah.
GALUH PUTRI RIYANTO