TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghapus Ujian Nasional mendapat berbagai reaksi, termasuk pertanyaan apa yang akan menjadi patokan dalam penerimaan murid baru tingkat SMP dan SMA/SMK. Selama ini, untuk masuk SMA/SMK digunakan nilai UN SMP atau nilai Ujian Sekolah Berstandar Nasional SD untuk masuk SMP.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Doni Koesoema, mengusulkan agar setelah tak ada lagi Ujian Nasional, digunakan sistem zonasi untuk penerimaan murid baru.
Ia mengatakan, tak ada alasan bagi pemerintah untuk membatalkan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru jika ujian nasional dihapus. Menurut Doni, pemerintah perlu memperkuat sistem zonasi demi pemerataan akses pendidikan. "Kalau penerimaan siswa baru berbasis zonasi, hasil ujian nasional tak perlu dipakai. Sistem zonasi hingga 10 tahun ke depan pun masih relevan," katanya seperti dimuat Koran Tempo, Jumat, 29 November 2019.
Sistem zonasi termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Regulasi itu mengatur tiga jalur penerimaan siswa untuk jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah kejuruan, dan sekolah menengah atas.
Jalur tersebut adalah jalur zonasi, jalur prestasi, dan jalur perpindahan tugas orang tua atau wali. Jalur zonasi mewajibkan sekolah menampung peserta didik dari lingkungan terdekat dengan porsi minimal 80 persen dari daya tampung. Sisanya berasal dari jalur prestasi dan jalur perpindahan tugas orang tua, masing-masing sebesar 15 dan 5 persen.
Sejak diterapkan pada tahun ajaran baru pada pertengahan 2019, sistem zonasi dibanjiri protes, terutama dari orang tua murid. Mereka merasa tak pernah mendapat sosialisasi kebijakan zonasi. Orang tua juga mengeluhkan kuota siswa berprestasi yang terlalu kecil, khususnya di sekolah negeri yang dianggap favorit.
Menurut Doni, kuota jalur zonasi justru harus ditambah hingga 90 persen--atau sama dengan ketika kebijakan itu pertama kali dibuat pada 2018. Sekolah cukup menerima 5 persen siswa berprestasi, 5 persen untuk perpindahan tugas orang tua. Dia mengimbuhkan, pemberian kuota yang terlalu besar untuk jalur prestasi berisiko meningkatkan praktik manipulasi nilai.
Meski begitu, pemerintah juga harus menyiapkan sarana pendukung dan meningkatkan kualitas guru. Kalau perlu, supaya akses pendidikan lebih merata, pemerintah bisa menggaet sekolah swasta untuk menerima murid yang tak tertampung di sekolah negeri. Bagi siswa yang tak mampu, kata Doni, pemerintah daerah harus membantunya dengan beasiswa.
Opsi tersebut dinilainya lebih efektif ketimbang pemerintah terus membangun sekolah baru, sementara sekolah swasta justru kekurangan siswa. "Membangun sekolah baru lebih mahal. Mending investasi membangun sekolah diberikan kepada swasta yang kekurangan murid. Kan sekolahnya sudah ada," kata dia.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Ade Erlangga Masdiana, mengemukakan lembaganya bakal menerbitkan regulasi anyar untuk penerimaan siswa baru tahun depan. Saat ini, Kementerian tengah menghimpun berbagai aspirasi dari pemangku kepentingan. Wacana penghapusan ujian nasional, kata Ade, juga dipertimbangkan dalam penyusunan aturan ini.
"Aturannya masih digodok supaya komprehensif. Kami harus mempertimbangkan semua faktor," kata Ade.
Keinginan menghapus ujian nasional pertama kali dicetuskan oleh Nadiem Makarim dua pekan setelah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sumber Tempo di Kementerian Pendidikan mengatakan lembaganya tengah menyusun metode penilaian yang baru sebagai pengganti ujian nasional dan ujian sekolah berbasis nasional. Meski tak lagi menjadi tolok ukur kelulusan sejak 2015, ujian nasional belum terbebas dari penyimpangan. Menjelang masa ujian nasional 2019, beredar bocoran soal ujian matematika.