Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengenal Tanaman Prasejarah Labu Air, Bahan Dasar Koteka di Papua

image-gnews
Peserta mempertunjukan tarian tradisional dalam Festival Budaya Lembah Baliem,  di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 8 Agustus 2017. Walau pun keadaan sudah modern, tapi suku Dani tetap mempertahankan adat istiadat dan tradisi mereka dengan menggunakan koteka. Tempo/Rully Kesuma
Peserta mempertunjukan tarian tradisional dalam Festival Budaya Lembah Baliem, di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 8 Agustus 2017. Walau pun keadaan sudah modern, tapi suku Dani tetap mempertahankan adat istiadat dan tradisi mereka dengan menggunakan koteka. Tempo/Rully Kesuma
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Sejak kapan masyarakat pegunungan tengah Papua menanam labu air (Lagenaria siceraria) dan menjadikannya koteka? Berdasarkan cerita rakyat yang dipercaya Suku Dani di Lembah Baliem, pegunungan Jayawijaya, Papua, awalnya benih labu air bahan koteka dibawa oleh seekor anjing.

“Bibit labu air ini terdapat pada lipatan telinga seekor anjing, kemudian bibit tersebut diambil dan ditanam, hasilnya adalah tanaman labu air atau labu koteka,” ujar peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto kepada Tempo, melalui email, Selasa, 24 Desember 2019.

Labu koteka merupakan salah satu jenis tanaman yang ditanam pada masa prasejarah. Lalu sejak kapan masyarakat pegunungan tengah Papua mengenal pertanian? Berdasarkan penelitian Haberle, peneliti Australia tahun 1991 di Rawa-rawa Kelela, Lembah Baliem, yang menganalisis sisa serbuk sari buah merah, dia berkesimpulan bahwa sejak 7.000 tahun lalu merupakan awal pertanian di Lembah Baliem.

Tanaman yang dibudidayakan saat itu adalah keladi, pisang, buah merah, tebu, dan kelapa hutan. “Selain jenis tanaman itu, labu air juga dibudidayakan, awalnya hanya dikonsumsi saja, dalam perkembangannya kemudian dijadikan sebagai koteka, dan menjadi identitas suku-suku di pegunungan tengah Papua,” kata Hari.

Sedangkan di dataran tinggi Papua Nugini (PNG) mengenal pertanian sejak 8.000 tahun yang lalu di rawa Kuk. Tetapi koteka tidak dikenal di PNG.

Bagi masyarakat modern, tradisi berpakaian masyarakat pegunungan tengah Papua yang mengenakan koteka, menganggapnya suatu hal yang memprihatinkan. Hal itu karena cara berpakaiannya hanya sekadar menutupi kemaluannya saja, sedangkan bagian-bagian lainnya dari tubuh dibiarkan terbuka.

Pakaian asli pria Suku Dani hanya berupa sebuah penutup kelamin yang terbuat dari labu air yang dikeringkan. Penutup kelamin ini dalam bahasa Dani disebut holim. Holim biasanya disertai perhiasan yang dipakai di leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan kepala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Perhiasan di leher adalah berupa dasi terbuat dari kulit kayu yang ditempeli kulit kerang kecil-kecil berwarna putih, disebut walimo,” tutur arkeolog lulusan Udayana University, Bali itu. “Perhiasan pergelangan tangan berupa rangkaian manik-manik kecil warna-warni atau gelang anyaman rotan halus, perhiasan ini sama dengan yang dipakai pada pergelangan kaki.”

Sedang perhiasan kepala berupa lingkaran rambut palsu semacam topi, terbuat dari serat kulit kayu dengan bulu burung warna warni. Selain perhiasan tersebut dipakai juga perhiasan tubuh yaitu pewarna dari tanah liat di wajah, punggung, lengan dan paha.

Koteka juga memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung dari mana mereka berasal. Suku Dani contohnya, mereka memakai koteka yang lebih kecil, Suku Yali memakai koteka panjang dan ramping yang diikat pada pinggang menggunakan sabuk rotan, sedangkan Suku Lani mengenakan koteka yang lebih besar dan pendek.

Berbeda dengan laki-laki, pakaian tradisional perempuan Suku Dani ada dua jenis, yaitu pakaian wanita yang masih gadis atau disebut sali, dan pakaian wanita yang sudah bersuami yang disebut yokal.

“Sali berbentuk rumbai-rumbai atau rok yang terbuat dari rumput atau serat pakis, dan yokal berbentuk untaian yang menutupi pangkal paha dan kemaluan dari bagian depan, terbuat dari serat kulit kayu. Berbeda dengan pria, wanita suku Dani jarang menggunakan hiasan pada tubuhnya,” kata Hari.

Sali atau yokal ini biasanya dipakai pada acara adat atau festival budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan pegunungan tengah Papua mengenakan rok modern yang mereka beli di pasar.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Gubernur Sumbar Apresiasi Festival Rakyat Muaro Padang

1 hari lalu

Gubernur Sumbar Apresiasi Festival Rakyat Muaro Padang

Festival yang menggelar beragam atraksi budaya diyakini mampu menghasilkan dampak positif untuk perekonomian.


Wali Kota Padang Mensyukuri Suksesnya Festival Rakyat Muaro Padang

4 hari lalu

Wali Kota Padang Mensyukuri Suksesnya Festival Rakyat Muaro Padang

Sederet pertunjukan seni budaya dipertontonkan selama tiga hari. Diharapkan generasi muda bisa melestarikan warisan budaya.


3 Festival Budaya Jepang yang Terbesar di Negeri Sakura

51 hari lalu

Puluhan ribu warga berpartisipasi dalam Festival Kanda Matsuri, Tokyo. Foto: @tokyoartsandculture
3 Festival Budaya Jepang yang Terbesar di Negeri Sakura

Tiga festival budaya Jepang terbesar yang dirayakan di tanah Jepang.


Festival DONGDALA Budaya Desa Hadirkan Apresiasi Desa Budaya

21 Desember 2023

Festival DONGDALA Budaya Desa Hadirkan Apresiasi Desa Budaya

Festival ini menjadi langkah awal dalam menumbuhkan kepedulian terhadap budaya dan melestarikannya untuk generasi mendatang.


Bupati Keerom Minta Festival Budaya Terus Berkembang

28 November 2023

Bupati Keerom Minta Festival Budaya Terus Berkembang

Pemerintah Kabupaten Keerom melaksanakan Festival Budaya Keerom Ke VIII yang dilaksanakan di Lapangan Sepak Bola Swakarsa


Kaodhi'en, Festival Ketahanan Pangan Lereng Argopuro Desa Klungkung

21 November 2023

Kaodhi'en, Festival Ketahanan Pangan Lereng Argopuro Desa Klungkung

Ketahanan Pangan sebagai Modal Utama Dalam Implementasi Program Pemajuan Kebudayaan Desa" dan Galang Gerak Budaya Di Kawasan Tapal Kuda


Euforia Meriah Festival Seni Budaya Kabupaten Keerom

6 November 2023

Euforia Meriah Festival Seni Budaya Kabupaten Keerom

Ribuan masyarakat Kabupaten Keerom tumpah ruah memadati Lapangan Sepakbola Swakarsa, Arso, dalam memperingati Festival Seni Budaya dan Persembahan Hasil Bumi Klasis GKI Keerom, Senin, 6 November 2023.


Inilah Festival Budaya Terpanjang di Dunia, 75 Hari Nonstop

17 Oktober 2023

Festival budaya Bastar Dussehra di India (utsav.gov.in)
Inilah Festival Budaya Terpanjang di Dunia, 75 Hari Nonstop

Festival budaya Bastar Dussehra sudah berusia lebih dari 600 tahun di India Tengah, dimulai oleh keluarga kerajaan.


Melihat Ritual Besoq Gong dalam Perayaan 116 Tahun Desa Wisata Bonjeruk

24 September 2023

Festival Budaya Besoq Gong di Desa Wisata Bonjeruk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.Dok. BPPD NTB
Melihat Ritual Besoq Gong dalam Perayaan 116 Tahun Desa Wisata Bonjeruk

Tradisi Besoq Gong di Desa Wisata Bonjeruk merupakan salah satu warisan budaya Sasak yang kaya dan unik.


Perayaan Korea Culture & Travel Festival 2023 Akan Hadir di 3 Kawasan Jakarta

27 Agustus 2023

Haeundae Beach, salah satu pantai yang populer di kota Busan. Selain jadi tujuan bisnis dan MICE, Busan juga menjadi kota wisata leisure. Foto: @the.rhodes.we.travel
Perayaan Korea Culture & Travel Festival 2023 Akan Hadir di 3 Kawasan Jakarta

Penggemar budaya Korea bisa menikmati pilihan kegiatan menarik, hingga mendapatkan harga promosi tiket wisata ke Korea di festival itu.