TEMPO.CO, Jakarta - Sejak kapan masyarakat pegunungan tengah Papua menanam labu air (Lagenaria siceraria) dan menjadikannya koteka? Berdasarkan cerita rakyat yang dipercaya Suku Dani di Lembah Baliem, pegunungan Jayawijaya, Papua, awalnya benih labu air bahan koteka dibawa oleh seekor anjing.
“Bibit labu air ini terdapat pada lipatan telinga seekor anjing, kemudian bibit tersebut diambil dan ditanam, hasilnya adalah tanaman labu air atau labu koteka,” ujar peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto kepada Tempo, melalui email, Selasa, 24 Desember 2019.
Labu koteka merupakan salah satu jenis tanaman yang ditanam pada masa prasejarah. Lalu sejak kapan masyarakat pegunungan tengah Papua mengenal pertanian? Berdasarkan penelitian Haberle, peneliti Australia tahun 1991 di Rawa-rawa Kelela, Lembah Baliem, yang menganalisis sisa serbuk sari buah merah, dia berkesimpulan bahwa sejak 7.000 tahun lalu merupakan awal pertanian di Lembah Baliem.
Tanaman yang dibudidayakan saat itu adalah keladi, pisang, buah merah, tebu, dan kelapa hutan. “Selain jenis tanaman itu, labu air juga dibudidayakan, awalnya hanya dikonsumsi saja, dalam perkembangannya kemudian dijadikan sebagai koteka, dan menjadi identitas suku-suku di pegunungan tengah Papua,” kata Hari.
Sedangkan di dataran tinggi Papua Nugini (PNG) mengenal pertanian sejak 8.000 tahun yang lalu di rawa Kuk. Tetapi koteka tidak dikenal di PNG.
Bagi masyarakat modern, tradisi berpakaian masyarakat pegunungan tengah Papua yang mengenakan koteka, menganggapnya suatu hal yang memprihatinkan. Hal itu karena cara berpakaiannya hanya sekadar menutupi kemaluannya saja, sedangkan bagian-bagian lainnya dari tubuh dibiarkan terbuka.
Pakaian asli pria Suku Dani hanya berupa sebuah penutup kelamin yang terbuat dari labu air yang dikeringkan. Penutup kelamin ini dalam bahasa Dani disebut holim. Holim biasanya disertai perhiasan yang dipakai di leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan kepala.
“Perhiasan di leher adalah berupa dasi terbuat dari kulit kayu yang ditempeli kulit kerang kecil-kecil berwarna putih, disebut walimo,” tutur arkeolog lulusan Udayana University, Bali itu. “Perhiasan pergelangan tangan berupa rangkaian manik-manik kecil warna-warni atau gelang anyaman rotan halus, perhiasan ini sama dengan yang dipakai pada pergelangan kaki.”
Sedang perhiasan kepala berupa lingkaran rambut palsu semacam topi, terbuat dari serat kulit kayu dengan bulu burung warna warni. Selain perhiasan tersebut dipakai juga perhiasan tubuh yaitu pewarna dari tanah liat di wajah, punggung, lengan dan paha.
Koteka juga memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung dari mana mereka berasal. Suku Dani contohnya, mereka memakai koteka yang lebih kecil, Suku Yali memakai koteka panjang dan ramping yang diikat pada pinggang menggunakan sabuk rotan, sedangkan Suku Lani mengenakan koteka yang lebih besar dan pendek.
Berbeda dengan laki-laki, pakaian tradisional perempuan Suku Dani ada dua jenis, yaitu pakaian wanita yang masih gadis atau disebut sali, dan pakaian wanita yang sudah bersuami yang disebut yokal.
“Sali berbentuk rumbai-rumbai atau rok yang terbuat dari rumput atau serat pakis, dan yokal berbentuk untaian yang menutupi pangkal paha dan kemaluan dari bagian depan, terbuat dari serat kulit kayu. Berbeda dengan pria, wanita suku Dani jarang menggunakan hiasan pada tubuhnya,” kata Hari.
Sali atau yokal ini biasanya dipakai pada acara adat atau festival budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan pegunungan tengah Papua mengenakan rok modern yang mereka beli di pasar.