Dalam diskusi yang sama, ahli perencanaan kota dan wilayah dari ITB, Jehansyah Siregar, membenarkan normalisasi sungai tak cukup mengatasi banjir Jakarta karena relokasi permukiman yang memang terbatas. Dia setuju dengan naturalisasi seperti konsep yang selalu didengungkan Gubernur Anies Baswedan. Tapi, lulusan Ph.D University of Tokyo itu menyatakan naturalisasi sungai di Jakarta sejatinya membutuhkan pembebasan lahan lebih luas.
Dia menjelaskan, meski menggunakan unsur alami sebanyak mungkin dan beton hanya seperlunya, naturalisasi butuh mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula. “Jadi sempadannya besar, ini yang disebut dengan naturalisasi,” kata dia.
Pembebasan lahan sempadan sebagai syarat naturalisasi sungai, Jehan mengingatkan, juga telah dimandatkan dalam Undang-undang Sumber Daya Air. Dia menyebut lebar kanan kiri sungai harus dibebaskan sejauh 50 meter. Kalau di luar kota 200 meter. "UU juga mengatakan bahwa DAS itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai,” kata Jehan.
Ahli Meteorologi dari kampus yang sama, Armi Susandi, senada bahwa naturalisasi membutuhkan kesediaan lahan yang lebih banyak. Dia menambahkan jenis tanah di Jakarta yang disebutnya lempung seperti tanah liat, sehingga potensi penyerapan airnya rendah.
Armi, dalam diskusi, juga menyoroti kesiapsiagaan banjir jangka pendek. Menurutnya, perlu ada riset mengenai cara membuat sistem informasi yang baik. Sehingga, misalnya, jika ada potensi hujan maka pompa harus dipastikan berfungsi, dan gorong-gorong harus bersih.
Dia menilai peristiwa banjir Jakarta awal tahun ini, memiliki indikasi bahwa pompa-pompa tidak berfungsi. “Pasti ada sesuatu, bisa karena lambat mengoperasikannya, karena jika terlambat itu tidak bisa berfungsi akan mati, jadi harus pas waktunya,” kata Armi.