TEMPO.CO, Kupang - Ada cerita heroik ahli toksikologi Tri Maharani di balik penyelamatan Martinus (12 tahun), bocah gembala asal Lembata, Nusa Tenggara Timur, dari gigitan ular sangat berbisa jenis viper, Daboia ruselli siamensis. Tri adalah juga seorang dokter dan sehari-hari bekerja sebagai Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Daha Husada Kediri, Jawa Timur.
Tri mengisahkan, pada 14 Januari 2020, ditelepon oleh koleganya, yakni dokter Natalia, dokter Ita, dan dokter Vieena. Ketiganya merupakan dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang bertugas di Kabupaten Lembata. Ketiganya mengabarkan ada pasien gigitan ular dalam kondisi buruk sekali, dengan kesadaran yang juga sangat jelek.
Pasien juga terus mengalami pendarahan dari mulut, hidung, serta mengalami kegagalan nafas sehingga harus diventilator pada bedah dan anestesi. Para dokter yang menangani korban, kata Tri, sudah berusaha menolong korban, hanya mereka tidak tahu jenis ular apa dan oleh warga setempat hanya dikatakan digigit ular keramat.
Sebagai ahli toksikologi satu-satunya di Indonesia, Tri Maharani langsung mengetahui jenis ular tersebut Daboia ruselli simanensis dari keluarga Viperidae yang memang langka. Tri langsung berkemas ke Bangkok, Thailand, satu-satunya penyedia penawar bisa ular tersebut.
"Hari itu saya tidak punya dana sama sekali, tetapi karena kondisinya yang sangat terdesak, saya nekat berangkat ke Bangkok untuk membeli antivenom monovalen daboia ruseli siamensis," katanya menuturkan saat ditemui di Lembata.
Ular Daboia Siamensis. wikipedia.org
Dia mengatakan, keberangkatan ke Bangkok atas bantuan drg Siska, mantan Wakil Yanmed RS Gunungjati Cirebon; dr Meilia Silvalila Kepala IGD RS Zainal Abidin Aceh; dan Evy Arbiaty. Sebelum bertolak, Tri menyempatkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan seorang dokter hewan di Thailand, Taksa Vasaparuchong.
"Saya berangkat ke Bangkok dan antivenom diantar ke bandara oleh drh Taksa, sebagai apresiasi beliau bahwa kasusnya darurat (emergency) sekali," kata Tri Maharani.
Dia mengatakan berangkat ke Bangkok pada 17 Januari tetapi hanya beberapa jam saja berada di Bangkok. Setelah menerima antivenom, dia terbang kembali ke Jakarta, dan selanjutnya ke Surabaya, lalu ke Kupang, dan Lembata.