TEMPO.CO, Jakarta - Sejak 3 Januari lalu, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) masih diterapkan untuk menanggulangi banjir di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kekuatan kolaborasi diyakinkan berada di balik kesuksesan penerapan teknologi hujan buatan demi mengurangi intensitas hujan di suatu wilayah.
Kepala Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) Hammam Riza menegaskan TMC tidak bisa dilakukan hanya oleh Balai Besar TMC di BPPT. "Kalau bicara ekosistem tentu itu tidak berarti hanya satu stakeholder saja, tapi TMC harus dengan kolaborasi," ujarnya di diskusi yang membahas tentang 'Penguatan Ekosistem TMC Mitigasi Bencana Banjir di Jabodetabek' di Gedung II BPPT, Jakarta Pusat, Jumat 24 Januari 2020.
Seperti diketahui awal tahun ini, pada 1 Januari 2020, banjir merendam banyak wilayah di Jabodetabek akibat hujan ekstrem. Hujan juga terjadi di beberapa daerah lain yang mengakibatkan kerugian tidak hanya materil tapi korban jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan lebih dari 60 orang tewas akibat bencana banjir dan longsor di awal tahun ini.
Hammam menerangkan, untuk melakukan TMC harus ada yang menyediakan informasi awal yaitu dari BMKG. Kemudian ada TNI AU, mu dari pilot hingga staf lainnya, juga ikut membantu dalam melakukan persemaian garam di udara. "Kemudian tim operasi TMC yang dimotori B2TMC dan timnya yang bekerja sama dengan seluruh jajaran yang terlibat. Termasuk LAPAN dan BNPB," kata Hammam.
Sehingga, pria berusia 57 tahun itu menjelaskan, ekosistem tersebut menjadi tantangan untuk terus berkolaborasi di dalamnya. Apalagi Indonesia merupakan negara yang rentan bencana sehingga kolaborasi harus dilakukan berkelanjutan. "Bencana itu siklus yang berjalan terus menerus dan sifatnya permanen bukan sementara," katanya mengingatkan.
Petugas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan lokasi penyemaian garam ke awan dalam Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang menggunakan Pesawat CN 295 di sekitar wilayah perairan Selat Sunda, Jumat, 3 Januari 2020. ANTARA/Aprillio Akbar
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengamini pernyataan Hammam dan mengapresiasi kerja sama yang sudah terjalin untuk melakukan TMC selama ini. BMKG, Dwikorita berujar, mempunyai beberapa perangkat pendukung untuk membantu pelaksanaan TMC yaitu 41 radar untuk verifikasi presisi dan akurasi cuaca.
Ada juga 113 stasiun cuaca, 102 upper air station, 14 stasiun cuaca laut, lebih dari 1200 AWS (stasiun cuaca otomatis), dan 6 NWP Models. BMKG juga bisa memprediksi maximal forecast range 240 Hrs, serta highest spatian resolution.
"Karena kita perlu untuk menjamin keberhasilan TMC, bagaimana posisinya, di mana (awan) yang harus ditembak (disemai) dan kami akan berupaya sepresisi mungkin," kata Dwikorita.
Pakar Iklim dan Cuaca ITB, Armi Susandi, berpendapat, bahwa TMC perlu asimilasi data dari AWS dan radar untuk meningkatkan akurasi sistem prediksi cuaca. Selain itu memberikan dukungan informasi untuk kesiapsiagaan sebelum cuaca ekstim, dan pengembangan skenario operasi TMC.
"Itu dukukan ITB dalam membantu aplikasi Teknologi Modifikasi Cuaca, dan ada juga aplikasi SCOT yanh terintegrasi operasi TMC yang dapat membantu TMC ini lebih dinamis lagi di lapangan," tambah Armi. "Manfaat TMC sangat penting dalam upaya jangka pendek."