TEMPO.CO, Jakarta - Sistem akreditasi perguruan tinggi menjadi satu di antara empat fokus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam kebijakannya tentang Pendidikan Tinggi. Dia menceritakan tentang bagaimana sulitnya para rektor dan dosen saat ingin menyiapkan akreditasi kampusnya.
Menurut pendiri startup GoJek dan mengantarnya menjadi unicorn itu, proses akreditasi masih sangat manual. Berkas dari dokumen dan bukti bahwa perguruan tinggi itu melakukan berbagai macam proses akreditasi disebutnya bertumpuk.
“Ancang-ancangnya sampai dua tahun (sebelum penilaian akreditasi), mahasiswa sampai komplain, 'Dosen ke mana ya?'. Tapi tantangan itu adalah tuntutan re-akreditasi dan memimpin akreditasi tersebut,” ujarnya saat mengumumkan kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka di Gedung D, Kemdikbud, Jakarta, Jumat 24 Januari 2020.
Nadiem melanjutkan, saat ini banyak sekali antrean perguruan tinggi dan program studi yang belum terakreditasi. Sementara semua perguruan tinggi dan program studi diwajibkan akreditasi setiap lima tahun.
Pemuda kelahiran Singapura 34 tahun lalu itu juga mencermati perguruan tinggi kecil sampai harus menunggu sampai bertahun-tahun. Dia menghitung, hampir 20 persen dari seluruh permintaan proses akreditasi tidak terpenuhi setiap tahunnya sehingga menciptakan antrean.
“Dan banyak sekali prodi yang ingin standarnya lebih tinggi lagi, mereka melakukan akreditasi level internasional, tapi mereka masih harus melakukan akreditasi nasional juga, dengan segala macam prosesnya,” katanya menambahkan.
Kiri ke kanan: Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Nizam dalam konferensi pers usai peluncuran program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka di Gedung D, Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 24 Januari 2020. TEMPO/Ahmad Faiz
Dalam kebijakan yang baru diumumkannya, Nadiem menawarkan proses akreditasi dengan menggunakan tiga prinsip. Pertama, katanya, akreditasi sifatnya harus sukarela. “Di semua negara maju sistemnya adalah sukarela, jadi kalau saya mau atau butuh diakreditasi saya akan di-proper test, tapi kalau tidak butuh itu juga enggak apa-apa,”
Kedua, mengutamakan bukan menekankan. Jadi, dia berujar, harus mengutamakan peran masyarakat, industri dan asosiasi profesi untuk melaksanakan akreditasi tersebut, bukan mengutamakan pemerintah melakukan akreditasi.
“Kenapa? Karena semakin lama tidak mungkin pemerintah bisa mengetahui dan menguasai semua domain informasi itu, bagaimana mengakreditasi prodi-prodi," katanya sambil menambahkan, "Seharusnya asosiasi yang harus bergotong royong melakukan ini, termasuk lembaga-lembaga lainnya."
Prinsip yang ketiga, lulusan Hubungan Internasional Universitas Brown, Amerika Serikat, itu mengutip praktik standar internasional di mana semakin banyak akreditasi yang diberikan dan diakui secara internasional, semakin baik. “Kami akan mem-push agar sebanyak mungkin akreditasi kita diakui di luar negeri, karena sekarang standar sudah global, knowledge sudah global dan menurut arahan presiden harus menjadi SDM yang unggul di panggung dunia,” kata Nadiem Makarim.