TEMPO.CO, Jakarta - Theti N.A. adalah seorang petani lahan gambut dari Desa Mantangai Hilir di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dia menceritakan kebiasaan turun temurun yang pernah hidup dalam masyarakatnya bahwa setiap sawah bekas panen padi harus dibakar untuk menyongsong musim tanam berikutnya.
Kebiasaan berjalan hingga 2015 lalu ketika asap dari bakar bekas sawah dan juga kebakaran hutan berbalik mengancam keselamatan masyarakat itu. “Saat itu dampak asap sangat hebat, banyak yang merasakan penderitaan, seperti anak-anak, bahkan sampai meninggal,” ujarnya di acara Ngobrol Bareng Tempo mengenai lahan gambut di Cafe Beka Resto, Jakarta Pusat, Rabu 29 Januari 2020.
Sejak saat itu, perempuan berusia 41 tahun itu mengungkap kalau kebiasaan membakar itu terhenti. Tiga tahun berselang, Theti dan masyarakat setempat menerima bantuan dari Badan Restorasi Gambut (BRG). Khusus Theti diundang untuk mengikuti sekolah lapang selama 10 hari.
Theti diajarkan demplot—Demontration Plot, metode penyuluhan pertanian dengan cara membuat lahan percontohan. Tujuannya, petani bisa melihat dan membuktikan terhadap objek yang didemontrasikan.
Mereka diajari bagaimana cara mengolah lahan gambut tanpa dibakar dan ramah lingkungan, beserta mempraktikkannya yaitu membuat demplot. Akhirnya Theti membuat kelompok tani perempuan dan mempraktikkan hasil pelatihan itu dengan menggarap sebidang tanah seluas satu hektare.
“Lahan cuma sedikit, kami coba tanam kacang panjang, terong, tomat dan paling utama itu cabai seluas setengah hektare dan setengahnya baru kami tanam sengon dan petai,” kata dia. Theti melanjutkan, setahun bisa panen tiga kali.
Theti N.A., 41 tahun, petani lahan gambut dii Desa Mantangai Hilir, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, usai terlibat dalam acara Ngobrol Bareng Tempo membahas ancaman kebakaran hutan dan lahan 2020 di Cafe Beka Resto, Jakarta Pusat, Rabu, 29 Januari 2020. TEMPO/Khory
"Kami bisa jual biasanya dapat Rp 80 ribu sehari. Lumayan untuk nabung. Kami juga biasanya kasih kalau ada tetangga yang minta.”
Selain itu, istri dari petani sawit dan karet itu tidak hanya membuat percontohan pertanian saja, tapi mengajak ibu rumah tangga dan tetanggannya untuk ikut memanfaatkan halaman rumahnya.
“Sekarang sudah ada sekitar 30 orang yang mengikuti saya (menanam). Ibu-ibu juga senang karena bisa dapat uang tambahan,” katanya.
Dulu, Theti menurutkan, dia bingung untuk mengolah lahan yang benar. Tapi sekarang dia mengaku sudah paham, bahkan sampai mengolah bahan makanan sisa untuk difermentasikan menjadi pupuk. “Sekarang enak, tidak ada kebakaran, dampak kebakaran itu tidak enak bisa kena ispa, kami pernah merasakannya,” tambah ibu dari Langkap, 8 tahun.
Bantuan yang didapatkan Theti dan masyarakat Desa Mantangai Hilir merupakan program dari BRG yaitu Desa Peduli Gambut. Program ini merupakan program pendampingan desa dan komunitas dengan pendekatan pembangunan desa berbasis lanskap ekonomi gambut.
Menurut Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Fuad, Program Desa Peduli Gambut ini mendukung penguatan ekonomi. “Kegiatan BRG memang hanya untuk memfasilitasi kegiatan restorasi gambutnya, di seluruh wilayah sudah ada koordinator masing-masing dan kami juga kerja sama dengan berbagai pihak,” katanya.
Theti, kata Nazir, hanya salah satu contoh yang BRG dorong untuk memanfaat lahan gambut tanpa di bakar. Menuruntya, ada banyak kelompok yang melakukan hal serupa, seperti ada di Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan dan Papua.
“Tapi pekerjaan restorasi gambut tidak bisa selesai dalam lima tahun, ada negara-negara yang mengeksploitasi gambutnya sejak pululan tahun lalu, di Eropa, itu juga belum selesai sampai sekarang. Bagi kami yang penting kegiatan programnya tetap terus berjalan,” tutur Nazir.