TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Frilasita Aisyah Yudhaputri memberikan apresiasi atas kerja sama Pemerintah Cina dan para penelitinya dalam menghadapi virus corona baru yang resmi diberi nama COVID-19. Menurutnya, penanganan yang dilakukan Cina cukup cepat.
Wanita yang biasa disapa Sisi itu, dalam acara Seminar Awam bertajuk ‘Menyikapi Virus Corona 2019-nCoV: dari Lembaga Eijkmam untuk Indonesia’ di Auditorium Auditorium Sitoplasma, Lembaga Eijkman, Jakarta Pusat, menceritakan kembali peristiwa-peristiwa penting dalam penanganan yang berawal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina itu.
"Perjalanan awal dari COVID-19 itu pada 31 Desember 2019, WHO menerima informasi pertama dari Cina ada kluster pneumonia yang belum ketahuan apa. Dan pada 1 Januari 2020 setelah diinformasikan bahwa ada kluster pneumonia, pasar hewan di Wuhan yang dianggap sumber dari penyebaran virus tersebut ditutup," kata dia, Rabu, 12 Februari 2020.
Selama beberapa hari pemerintah Cina bekerja sama dengan peneliti setempat mencoba menskrining dan mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan penyebab pneumonia, seperti virus respiratori, influenza, adeno, rhino atau bakteri dan hal lainnya.
"Hingga pada 7 Januari 2020, perlu diapresiasi cepat sekali, telah diidentifikasi dan diberi nama bahwa penyebab dari kluster tersebut adalah 2019-nCoV," ujar Sisi yang merupakan Koordinator Penelitian Emerging Virus Research Unit di Eijkman
Namun, lulusan Master of Biolomedical Science dari Monash University, Australia, itu cukup menyayangkan, karena pada 11 Januari 2020, beberapa hari berselang setelah ditemukannya dan bisa diidentifikasi virus tersebut, kasus kematian pertama di Cina itu terkonfirmasi, dan juga penyebaran di luar Cina.
Tanggal 17 Januari 2020, berselang 10 hari dari ditemukan dan diidentifikasinya COVID-19 itu telah dipublikasi protokol cepat pertama, untuk mengidentifikasi COVID-19 yang dipublikasikan secara luas dan dapat diakses oleh semua orang.
"Saya apresiasi kembali. Kita perlu acungkan jempol atas kerja sama yang dilakukan para peneliti dan pemerintah di negara tersebut," kata wanita berambut panjang itu.
Setelah itu, virus COVID-19 terus menyebar ke berbagai negara dan dikonfirmasi semakin banyak yang terinfeksi. Akhirnya pada 23 Januari 2020 akses dari dan ke Wuhan ditutup, yang membuat kota tersebut seperti kota mati tanpa kehidupan.
"Dan 31 Januari 2020, WHO menetapkan wabah tersebut sebagai darurat kesehatan global atau wabah yang dapat menjadi masalah di dunia. Serta kemarin informasi terbaru WHO memberikan nama resmi COVID-19," tutur Sisi yang pernah mendapatkan penghargaan Fellowship Award dari South East Asia Infectious Disease Clinical Research Network (SEAICRN).
Hingga Rabu malam tadi, virus COVID-19 itu telah menewaskan sebanyak 1.018 orang, termasuk dua orang dari Filipina dan HongKong, dan terkonfirmasi telah menginfeksi 43.141 orang di 28 negara.