TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Cina memiliki daftar lebih dari 80 uji klinis yang sedang berjalan dan menunggu pengobatan yang paling potensial untuk infeksi virus corona baru, COVID-19. Calon obat-obatan baru itu belum termasuk terapi tradisional berusia ribuan tahun, dan terus berkembang setiap hari.
Soumya Swaminathan, kepala ilmuwan di Badan Kesehatan PBB (WHO), menerangkan, timnya telah memeriksa banyak uji di Cina, serta menyusun rencana untuk protokol uji klinis yang secara bersamaan dapat dijalankan oleh dokter di seluruh dunia. Dia juga memperingatkan bahwa hanya uji yang dilakukan secara hati-hati yang akan menentukan tindakan mana yang berhasil.
“Jika uji tidak dirancang dengan standar ketat untuk parameter studi, seperti kelompok kontrol dan ukuran hasil klinis, upaya akan sia-sia,” ujarnya seperti dikutip Nature, baru-baru ini.
WHO bekerja sama dengan ilmuwan Cina menetapkan standar uji klinis sejak awal. Misalnya, tahapan pemulihan atau penurunan kondisi seseorang harus diukur dengan cara yang sama, terlepas dari perawatan yang sedang diuji. “Mudah-mudahan kita dapat membawa semacam struktur ke dalam semuanya,” kata Swaminathan.
Sampai dengan Minggu malam, 16 Februari 2020, virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina itu telah menewaskan 1.670 orang mayoritas dari Cina daratan. COVID-19 juga dikonfirmasi telah menginfeksi 69.267 orang di setidaknya 29 negara di seluruh dunia.
Protokol uji klinis WHO dirancang agar fleksibel dan memungkinkan para peneliti di seluruh dunia untuk mengumpulkan hasilnya dari waktu ke waktu. Ini akan membandingkan dua atau tiga terapi yang didukung oleh bukti ilmiah, termasuk kombinasi obat HIV (lopinavir dan ritonavir) dan antivirus eksperimental yang disebut remdesivir.
"Meluruskan uji klinis adalah prioritas, karena jika kita mendapatkan informasi tentang apa yang berfungsi dan tidak berfungsi, kita dapat memberi manfaat bagi pasien sekarang," kata Swaminathan.
Salah satu uji klinis di Cina adalah dengan obat HIV yang dalam penelitian pada hewan, mereka telah mengurangi kadar virus corona jenis SARS dan MERS. Kemudian, Remdesivir, analog nukleotida yang dibuat perusahaan bioteknologi Gilead di Foster City, California, juga memiliki beberapa keberhasilan uji terhadap virus corona pada hewan. Pada Januari, para peneliti melaporkan bahwa satu orang di Amerika Serikat selamat dari infeksi COVID-19 setelah dirawat dengan remdesivir.
Selama minggu pertama Februari, Cina melakukan dua uji terkontrol plasebo dengan remdesivir untuk 760 orang yang terinfeksi COVID-19. Penelitian harus diselesaikan pada akhir April, dan remdesivir dapat disetujui oleh otoritas Cina pada awal Mei. "Tapi epidemi mungkin sudah hilang saat itu," kata kata Shibo Jiang, ahli virus di Universitas Fudan, Shanghai.
Cina juga telah meluncurkan beberapa uji coba klorokuin, obat malaria yang membunuh virus corona baru (baru-baru ini bernama SARS-CoV-2) dalam kultur sel. Dan para peneliti sedang mempelajari apakah steroid mengurangi peradangan pada orang dengan COVID-19 yang parah, atau menyebabkan kerusakan.
“Ini akan menarik untuk melihat hasilnya," kata Yazdan Yazdanpanah, ahli epidemiologi dari badan kesehatan nasional Prancis, INSERM, di Paris. “Dokter penelitian di seluruh dunia akan membutuhkan informasi ini jika wabah terus menyebar.”
NATURE | GISANDDATA