TEMPO.CO, Jakarta - Wabah virus corona baru, COVID-19, yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, diperkirakan menjadi pandemik global. Per Jumat pagi, 21 Februari 2020, sekitar 75.778 orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus itu, dengan 2.130 orang meninggal dunia, kebanyakan dari daratan Cina.
Perusahaan biotek seperti Moderna dan raksasa farmasi Johnson & Johnson mengatakan mereka berusaha keras untuk menemukan vaksin--tetapi penemuan itu tidak datang dengan cepat. Tidak dalam hitungan bulan, bahkan mungkin mendekati satu tahun.
Pada 7 Februari 2020, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Anthony Fauci mengatakan, jika penelitian berjalan dengan lancar, uji klinis fase satu dapat dimulai pada manusia dalam waktu kurang dari tiga bulan. "Sejauh ini tidak ada gangguan," katanya, seperti dikutip laman Forbes, Kamis, 20 Februari 2020.
Uji coba fase satu biasanya merupakan studi kecil untuk menguji keamanan dan kemanjuran vaksin. Bahkan jika percobaan fase satu berhasil, masih bisa memakan waktu lama untuk vaksin tersedia bagi orang di luar Wuhan, Cina. Ketika vaksin Ebola baru sedang diuji, para peneliti melakukan percobaan fase tiga di Guinea, pusat wabah itu.
Vaksin COVID-19 yang baru dapat mengambil pendekatan yang sama, pertama bagi orang-orang di daerah Cina yang paling terpengaruh. Hanya setelah selesainya percobaan fase tiga dan persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) akan tersedia untuk orang-orang di AS yang berisiko lebih rendah terkena penyakit.
Mengapa membuat vaksin butuh waktu yang lama? Pengembangan vaksin normal membutuhkan rata-rata 10 hingga 15 tahun, karena para peneliti dan dokter ingin memastikan bahwa mereka memberi orang perawatan yang aman. Untuk mendapatkan vaksin yang disetujui di Amerika, harus melalui beberapa fase pengembangan, termasuk penelitian praklinis dan pengujian hewan, uji klinis manusia dan kontrol kualitas.
"Secara umum, kita berbicara bertahun-tahun jika bukan berpuluh-puluh tahun dalam sebagian besar skenario," kata Kathleen Neuzil, direktur di Pusat Pengembangan Vaksin dan Kesehatan Global di Fakultas Kedokteran Universitas Maryland.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi berapa lama untuk membuat vaksin, termasuk kompleksitas penyakit, bagaimana sistem kekebalan manusia bereaksi terhadap penyakit tertentu dan di mana dalam tubuh suatu penyakit berakar. "Penyakit pernapasan, seperti COVID-19, secara umum bisa sedikit lebih sulit," kata Neuzil. Karena vaksin harus menciptakan respon imun yang cukup dalam aliran darah untuk mengaktifkan antibodi di saluran pernapasan.
Vaksin juga sangat mahal untuk dikembangkan. Dari awal hingga akhir, dapat menghabiskan biaya ratusan juta dolar untuk membuat vaksin yang sukses. Kata kunci di sini adalah berhasil, perusahaan secara teratur menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan vaksin yang tidak berfungsi dengan baik, dan kembali untuk memulai dari awal lagi.
Untungnya ada beberapa sistem untuk pelacakan cepat vaksin, terutama selama wabah penyakit besar. Beberapa vaksin telah diberi status Jalur Cepat oleh FDA, termasuk vaksin untuk HPV, virus yang dapat menyebabkan kanker serviks, dan vaksin untuk chikungunya, penyakit menular yang disebarkan oleh nyamuk.
Tetapi epidemi penyakit besar tidak secara otomatis berarti persetujuan yang cepat. Vaksin Ebola pertama baru saja disetujui FDA pada Desember 2019, lebih dari lima tahun setelah dimulainya wabah mematikan di Afrika Barat.
Saat ini, Johnson & Johnson, yang berbasis di New Jersey; Inovio, perusahaan biotek publik berbasis di Pennsylvania; Moderna, perusahaan biotek yang berbasis di Massachusetts; dan sebuah kelompok penelitian di Universitas Queensland di Australia adalah empat lembaga yang mengungkapkan bahwa mereka berusaha menemukan vaksin.
Inovio baru saja menerima hibah US$ 9 juta untuk mengembangkan vaksin COVID-19 baru dari Coalition for Epidemic Preparedness Innovations, di atas hibah UD$ 56 juta sebelumnya untuk mengembangkan vaksin penyakit lain.
"Kami ingin memiliki vaksin COVID-19 dalam uji coba manusia dalam waktu kurang dari tujuh bulan. Kami berusaha bergerak sangat cepat ke pengujian manusia di Tiongkok," kata J. Joseph Kim, CEO Inovio.
Sedangkan Moderna mengatakan bahwa mereka menyelesaikan batch klinis vaksin pada 7 Februari 2020, dan akan segera pindah ke pengujian fase satu. Dan Johnson & Johnson, kembali menggunakan teknologi yang pernah sukses untuk vaksin Ebola dan Zika-nya, untuk membuat vaksin virus corona baru itu.
FORBES