Rusdiansyah mengklaim, hasil pemeriksaan laboratorium menguatkan pembakaran briket di boiler pembangkit tidak menghasilkan polutan dioksin.
Kapasitas produksi pabrik pengolah briket milik Indonesia Power Unit Pembangkit Saguling baru menembus satu ton sehari, berasal dari pengolahan tiga ton campuran sampah dan eceng gondok. Briket tersebut menjadi pemasok boiler, pemanas untuk pembangkit listrik tenaga sampah yang saat ini baru dibangun dengan kapasitas 10 Kilo Watt.
Rusdiansyah mengatakan, pembangkit listrik tenaga sampah dengan bahan baku briket eceng gondok ini salah satu yang dikembangkan untuk menaikkan porsi pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan) yang dibebankan pemerintah pada PLN. “Kami ditarget, untuk PLN Grup untuk EBT di tahun 2025 itu 34 persen,” kata dia.
Rusdiansyah mengatakan, saat ini Indonesia Power Unit Pembangkit Saguling tengah menyiapkan kerja-sama dengan mitranya untuk membangun pembangkit tenaga sampah tersebut yang mulai dibangun 2020 ini. Indonesia Power Unit Pembangkit Saguling tengah bersiap untuk membangun pembangkit dengan kapasitas lebih besar yakni menembus 1 Mega Watt.
“Untuk 1 MW ini kami akan menggandeng mitra yang akan bekerja sama karena nilai investasinya sudah di atas Rp 5 miliar,” kata dia.
Rusdiansyah mengatakan, nilai ekonomi briket enceng gondok tersebut juga menjanjikan karena harga produksinya jauh di bawah harga pembelian batubara muda. “Kita sudah ada hitungannya. Biaya produksi untuk jadi listrik itu sekitar Rp 300-400 per kWh. Untuk 1 kWh itu menggunakan 4 kilogram briket,” kata dia.
Briket enceng gondok ini harga jualnya masih di bawah batubara muda yang biasa digunakan pabrik dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). “Batu bara muda itu harganya sekitar Rp 800-900 per kWh,” kata Rusdiansyah.
Rusdiansyah mengatakan, peminat briket itu juga sudah ada. Briket tersebut bisa digunakan untuk mesin boiler yang dipergunakan oleh pabrik tekstil. “Mereka mampu menyerap itu per harinya bisa 50 ton briket. Sementara pabrik kami baru pilot project, baru 1 ton per hari. Peluangnya masih sangat banyak.”
Rusdiansyah mengatakan, briket tersebut juga sudah dicoba menjadi substitusi batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap. “Dicampur dengan batubara. Penggunaan batubara jadi berkurang karena disubstitusi dengan ini. Jadi co-firing namanya. Komposisinya 70-30, 70 persen batubara, dan 30 persen ini,” kata dia.
Rusdiansyah mengatakan, penggunaan briket juga sudah terbukti mengurangi emisi gas buang. “Yang sudah terbukti kita di PLTU Ciranjang, kita lakukan co-firing di sana, mencampur batu-bara dengan briket bisa menurunkan emisi gas buang. Hasil labnya ada,” kata dia.