TEMPO.CO, Jakarta - Para ahli di Taiwan mengatakan telah mendapatkan pelajaran keras dan pahit saat menangani SARS pada 2003 sehingga merespons dengan cepat ketika virus corona baru, COVID-19, muncul.
Negara ini berhasil mempertahankan jumlah kasus yang dikonfirmasi menjadi 45 dan satu kematian, bahkan ketika tingkat infeksi di Cina mencapai 80.000 dan menyebar di seluruh dunia.
Keberhasilan Taiwan sejauh ini dalam menangani infeksi sebagian besar disebabkan oleh respons awal saat virus masih kurang dipahami dan tingkat penularannya tidak jelas.
Juga mengandalkan pengalaman sejarah daripada menunggu isyarat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang terus menyangkal status pengamat Taiwan karena alasan politik.
"Taiwan sangat terpukul oleh SARS, dan dengan pelajaran yang keras dan pahit itu, Taiwan datang dengan sangat siap," ujar Chunhuei Chi, profesor di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dan Humaniora di Oregon State University, seperti dilaporkan laman Aljazeera, baru-baru ini.
Dengan sekitar 850.000 orang Taiwan yang tinggal dan bekerja di Cina, negara ini bisa menjadi salah satu yang paling terpukul ketika wabah corona muncul pada akhir Desember di Wuhan, Provinsi Hubei, yang merupakan sebuah kota di Cina tengah dengan jumlah penduduk 11 juta orang, sebagai pusat penyebaran.
"Setelah epidemi SARS, Taiwan mendirikan pusat komando untuk epidemi pada tahun berikutnya, menempatkan Taiwan yang memiliki satu langkah di depan dibandingkan tempat-tempat lain di Asia sebelum virus corona menyerang," kata Chi.
Pusat komando itu memudahkan otoritas medis untuk mengumpulkan data, mendistribusikan kembali sumber daya, menyelidiki kasus-kasus potensial dan menindaklanjuti riwayat kontak mereka. Mereka juga dapat dengan cepat mengisolasi pasien yang ditemukan membawa virus.
Pada minggu pertama Februari, Taiwan mulai menjatah masker bedah dan membatasi masuknya penumpang dengan sejarah perjalanan di Cina, serta karantina 14 hari bagi mereka yang pernah ke Macau dan Hong Kong.
Pembersih tangan dan pemeriksaan demam menjadi kebiasaan di banyak bangunan publik. Sementara Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan dan lembaga lainnya mengeluarkan peringatan harian tentang kasus terbaru dan informasi tempat-tempat yang telah mereka kunjungi.
Jason Wang, direktur Pusat Kebijakan, Hasil dan Pencegahan di Universitas Stanford, mengatakan pemerintah Taiwan benar-benar waspada dalam menanggapi COVID-19. "Ketika menjadi jelas itu akan menjadi masalah besar, mereka mulai berbuat lebih banyak. Mereka siap," tutur Wang.
Para ahli mengatakan keberhasilan Taiwan sama dengan Singapura. Sekarang ada lebih dari 100 kasus virus corona di Kota Singa itu, tindakan awal mencegah penyakit ini menyebar lebih lanjut meskipun statusnya berisiko tinggi sebagai pusat transit utama Asia dan memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan Cina dan Hong Kong.
Juga belajar dari SARS, Singapura bergerak cepat untuk memaksakan pemeriksaan kesehatan sebelum menutup perbatasannya pada akhir Januari untuk sebagian besar pelancong dari Cina. Singapura memberlakukan denda besar pada siapa pun yang ditemukan melanggar perintah karantina, juga menutup sekolah dan universitas.
Baik Taiwan dan Singapura juga menawarkan paket stimulus besar karena ekonomi merasakan dampak dari virus corona dan hilangnya turis pariwisata dari Cina. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di The News Lens, Roy Ngerng menulis bahwa penanganan krisis Taiwan bahkan lebih baik daripada Singapura.
Sementara pemimpinan Taiwan dan Singapura bertindak cepat, negara-negara lain yang terkena virus lebih lambat untuk bertindak, atau lebih lambat terbuka dengan publik tentang kemungkinan risiko. Menurut spesialis penyakit menular dati Vanderbilt University William Schaffner, pemerintah kedua negara itu menerima saran dari kementerian kesehatan, termasuk ilmuwan dan dokter.
"Saya pikir itu formula yang sangat bagus," kata Schaffner. "Tempat-tempat lain seperti di Amerika Serikat lambat untuk bertindak. Tindakan Taiwan sangat kontras dengan tindakan Cina, di mana tindakan tegas hanya terjadi setelah wabah itu menyebar."
Jepang dan Korea Selatan juga telah dikritik karena tanggapan mereka dalam menangani virus corona. Infeksi di kedua negara itu sekarang masing-masing telah mencapai 1.045 dan 6.767, pada akhir pekan lalu.
Wabah Korea Selatan terjadi setelah infeksi di Gereja Shincheonji Yesus Megachurch pada Februari, sementara Jepang melihat lonjakan dari sekelompok besar orang di atas kapal pesiar Puteri Berlian, yang dikarantina di Yokohama.
ALJAZEERA