TEMPO.CO, Jember - Anggota Tim Penanganan Kesiagaan COVID-19 di Rumah Sakit dr. Soebandi Jember, Angga Mardro Raharjo, meminta masyarakat setempat tidak berlebihan merespons penyebaran virus corona COVID-19. Menurutnya, di negara beriklim tropis seperti Indonesia beberapa virus akan mati setelah terpapar sinar matahari langsung.
“Termasuk COVID-19 yang tidak tahan terhadap sinar matahari. Mungkin ini jawaban dari mengapa di Indonesia kasus penyebaran virus COVID-19 relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan negara Cina, Korea Selatan, apa lagi Italia,” ujar Agga yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Angga justru meminta agar masyarakat mulai membiasakan diri menerapkan pola hidup sehat. Terutama dalam menjaga kebersihan tangan dengan lebih sering melakukan cuci tangan setelah melakukan aktivitas luar ruangan.
“Biasanya masyarakat cuci tangan hanya ketika mau makan saja. Padahal saat kita mengusap wajah dengan tangan pun juga berpotensi tertular virus yang menempel di tangan saat aktivitas sebelumnya,” kata Angga saat memberikan ceramah ilmiah dalam forum diskusi Perilaku Sehat Untuk Antisipasi Covid-19 di Gedung Pasca Sarjana Universitas Jember, Rabu, 11 Maret 2020.
Kelemahan virus corona COVID-19 di iklim tropis pernah diperbincangkan pada awal Februari lalu. Wakil Ketua Tim Infeksi Khusus di Rumah Sakit Umum Pendidikan dr Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Anggraeni, menyatakan bahwa Indonesia relatif diuntungkan dengan paparan sinar matahari yang lebih banyak sehingga mengurangi potensi penyebaran virus.
Keterangan itu sejalan dengan yang pernah disampaikan Erlina Burhan dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam sebuah diskusi untuk awam dan media di FKUI, Salemba, Jakarta Pusat. Menurut pakar paru itu, Indonesia memiliki iklim tropis dengan sinar matahari sangat menyengat. “Virus akan mati dalam kondisi panas. Kalau virus corona berada di udara dan kena panas, harusnya mati. Itulah sebabnya risiko di Indonesia lebih rendah,” kata Erlina.
Ahli mikrobiologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra, tidak seyakin para dokter itu. Dia menyebut semakin tinggi paparan terhadap ultraviolet, virus akan cepat mati. Indeks UV di Wuhan, disebutkan Sugiyono, sebesar 4, sedangkan di Jakarta 9. Semakin tinggi suhu, semakin rendah pula survival virusnya. Suhu udara rata-rata di Wuhan saat ini adalah 12 derajat, sedangkan Jakarta 27 derajat Celsius.
"Secara teori, memang kondisi lingkungan Indonesia memungkinkan survival coronavirus di udara adalah rendah," katanya sambil cepat menambahkan, "Tapi banyak karakteristik dari coronavirus dari Wuhan ini yang belum banyak diketahui."
Berbeda dengan dua ahli lainnya, Sugiyono menolak menyimpulkan sedikit penyebaran virus itu di Indonesia sejauh ini karena faktor cuaca. Alasannya, Indonesia juga mengalami musim flu dan musim penyakit lainnya yang disebabkan oleh virus. Selain beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga memiliki kasus positif virus corona. "Sekali lagi, ini tidak bisa digeneralkan begitu saja," kata Sugiyono.