TEMPO.CO, Bandung - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG menerangkan, gempa Bali pada Kamis dinihari, 19 Maret 2020, bersumber dari zona Palung Jawa (Java Trench). Gempa akibat aktivitas patahan di sana disebut bukan yang pertama dan beruntung tidak sampai memicu tsunami.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa menurut hasil analisis BMKG, gempa berkekuatan 6,3 M itu memiliki mekanisme patahan turun (normal fault). Deformasi batuan terjadi pada bidang tekukan Lempeng Indo-Australia yang mengalami gaya tarikan lempeng (ekstensional).
"Di zona ini slab atau lempeng samudra Indo-Australia mulai menunjam dan menekuk ke bawah lempeng benua Eurasia di Selatan Bali, disinilah patahan itu terjadi," kata dia.
Karena patahan batuan terjadi pada bagian lempeng Indo-Australia, BMKG menyebutnya sebagai gempa intraslab tetapi masih di zona sumber gempa di luar zona subduksi (outer rise). Gempa seperti itu, Daryono menuturkan, juga pernah mengguncang Bali pada 9 Jun 2016 (6,0 M), kemudian 17 Maret 2017 (5,3 M), dan 9 Juni 2019 dengan magnitudo 5,1.
Peta gempa Kuta Selatan. Twitter/@BMKG
Zona outer rise selatan Bali ini, menurut Daryono, mampu memicu gempa besar dan tsunami. Dasarnya adalah gempa dari zona outer rise di selatan Sumbawa pada 19 Agustus 1977 lalu.
Saat itu gempa bermagnitudo 8,3 yang populer sebagai “The Great Sumba” telah memicu terbentuknya patahan dasar laut dengan mekanisme turun. Akibat pergerakan itu muncul tsunami setinggi sekitar delapan meter dan menewaskan lebih dari 300 orang pada masa itu.