TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa virus corona COVID-19 dapat bertahan di udara dalam partikel yang dikenal sebagai aerosol. Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Persahaban Erlina Burhan menerangkan, aerosol terjadi hanya ketika petugas kesehatan melakukan pemeriksaan.
Menurutnya, aerosol tidak terjadi di tempat umum, karena yang menghasilkan aerosol hanya terjadi di fasilitas perawatan medis. “Untuk mencegah pada saat terjadi aerosol ya sebaiknya memakai masker N95, fasilitas petugas kesehatan harus ditingkatkan untuk pencegahan penularan,” ujar dia melalui sambungan telepon, Senin, 23 Maret 2020.
Sebelumnya penelitian mengungkapkan, virus corona SARS-CoV-2 dapat bertahan hidup di udara selama beberapa jam dalam partikel halus aerosol. Penelitian itu juga menyebutkan, COVID-19 dapat dideteksi hingga 3 jam setelah aerosolisasi dan dapat menginfeksi sel sepanjang periode waktu itu.
Erlina yang juga peneliti dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan, aerosol hanya terjadi di situasi khusus. “Itu (aerosol) bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, hanya berlaku untuk petugas (kesehatan),” kata dia menegaskan.
Penelitian itu pertama kali diposting 10 Maret di database preprint medRxiv, masih merupakan penelitian awal, karena belum mengalami peer-review yang luas. Para peneliti menerima komentar dari satu jurnal ilmiah prospektif, dan memposting versi terbaru dari penelitian pada 13 Maret yang mencerminkan revisi.
Dengan asumsi hasil awal ini, transmisi aerosol dari SARS-CoV-2 tampaknya masuk akal, tulis para penulis - tetapi beberapa pertanyaan kunci tetap tidak terjawab. Salah satu peneliti yang merupakan mahasiswa pasca sarjana dari Departemen Ekologi dan Biologi Evolusi dari Universitas Princeton, Dylan Morris, menjelaskan penelitiannya menjadi sesuatu yang bisa dimodelkan di masa depan.
"Kami masih belum tahu seberapa tinggi konsentrasi SARS-CoV-2 yang layak dalam praktek untuk menginfeksi manusia," tutur Morris kepada Live Science melalui email.
Menurut Morris, aerosolisasi kemungkinan terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan, dan tidak terjadi dalam kondisi sehari-hari yang umum. Selama wabah SARS pada 2002-2003, aerosol mendorong serangan penyebaran virus yang parah dalam pengaturan perawatan kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sedang mempertimbangkan tindakan pencegahan melalui udara untuk staf medis setelah studi itu muncul. Maria Van Kerkhove, kepala unit penyakit dan zoonosis WHO, pada hari Senin, 16 Maret 2020 mengatakan, virus corona diketahui ditularkan melalui tetesan, atau sedikit cairan, sebagian besar melalui bersin atau batuk.
Menurutnya, sangat penting bahwa petugas kesehatan mengambil tindakan pencegahan tambahan ketika bekerja pada pasien dan melakukan beberapa prosedur. “Ketika Anda melakukan prosedur yang menghasilkan aerosol seperti di fasilitas perawatan medis, Anda memiliki kemungkinan melakukan aerosolisasi partikel-partikel ini, yang berarti virus dapat tinggal di udara sedikit lebih lama,’ katanya menambahkan.