Namun demikian, meski bahan yang digunakan sama, baik yang di bilik sterilisasi maupun yang disemprot, ia juga tetap menganjurkan masyarakat untuk mandi dan cuci tangan jika sampai di rumah. "Dalam situasi seperti ini kan semua upaya dilakukan untuk meminimalisir risiko. Jadi pengendaliannya sudah ketat ya," katanya.
Sebelumnya, sebuah artikel viral di media sosial mengatakan penggunaan bilik disinfeksi malah membahayakan kesehatan. Artikel itu menyoroti maraknya pendirian bilik-bilik yang menyemprotkan disinfektan ke tubuh mereka yang berada di dalamnya untuk perlindungan di masa wabah virus corona COVID-19 sekarang ini.
Artikel itu diketahui berasal dari sebuah situs media kesehatan health.grid.id. Satu contoh bilik disinfeksi yang diterangkannya adalah yang dibuat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. “Menurut WHO, bilik yang berisikan cairan disinfektan seperti alkohol, clorin, H2O2 justru membahayakan manusia hingga dua tahun ke depan (karsinogenik), dan sampai saat ini tidak ada cairan apapun yg direkomendasikan,” tulis artikel itu.
Chandra Risdian, peneliti biokimia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membenarkan bahwa tidak ada rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk penggunaan disinfektan ke tubuh manusia. Dia mengingatkan agar masyarakat yang membuat bilik disinfektan memperhatikan kandungan bahan aktif, takaran, dan keamanannya.
Dalam literatur tentang bahan-bahan aktif dan produk rumah tangga untuk disinfeksi virus corona penyebab COVID-19 yang dibuatnya--dan kemudian dibagikan LIPI, Chandra memasukkan bahan aktif Benzalkonium klorida yang bisa digunakan sebagai disinfektan. Bahan aktif itu ada di antaranya dalam produk Dettol dan SOS.
Tapi Chandra menekankan bahwa seluruh isi daftar itu hanya direkomendasikannya untuk permukaan benda mati. Disemprotkan ke benda-benda yang sering disentuh sehingga mungkin menyebabkan penularan COVID-19.
“Pesan saya untuk masyarakat yang membuat bilik-bilik desinfektan: tanyakan ke penyedia, apa isi disinfektan yang digunakan, berapa kadarnya, dan tunjukkan bukti kalau itu aman buat kulit. Kalau tidak, jangan lakukan,” kata peneliti yang masih berada di Jerman untuk kepentingan risetnya itu