TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) telah mulai melakukan tes darah yang akan membantu menentukan apakah seseorang telah terpapar virus corona COVID-19, bahkan tanpa menunjukkan gejala.
Tes yang disebut serologis ini, atau survei sero, berbeda dari usap hidung yang digunakan untuk mendiagnosis kasus aktif COVID-19.
Wakil manajer insiden untuk respons pandemi CDC Joe Bresee menerangkan CDC baru mulai melakukan pengujian dan akan melaporkan dengan cepat.
"Kami pikir studi serum akan sangat penting untuk memahami berapa jumlah infeksi yang sebenarnya di masyarakat," ujar dia, seperti dikutip laman Vox, Minggu, 5 April 2020.
Dengan menganalisis darah, peneliti akan dapat mengetahui apakah seseorang mengembangkan antibodi tertentu dalam darah, yang menunjukkan bahwa mereka terinfeksi oleh virus dan pulih. Tes ini juga dapat membantu mengumpulkan data secara surut tentang seberapa luas virus itu menyebar.
Dengan tidak adanya pengujian diagnostik yang meluas, banyak orang yang menunjukkan gejala hanya disuruh tinggal di rumah, tanpa menerima diagnosis formal, sementara lebih banyak orang tidak pernah menunjukkan gejala sama sekali.
Menurut laporan kanal berita Stat, tes akan menargetkan tiga kelompok dalam tiga fase: orang yang tinggal di hot spot penyakit, seperti New York dan Seattle, tapi yang tidak didiagnosis; sampel representatif dari orang yang tinggal di seluruh negeri, di daerah dengan tingkat infeksi yang berbeda; dan pekerja perawatan kesehatan.
Fase pertama, pada orang-orang yang tinggal di hot spot, telah dimulai setelah Food and Drug Administration (FDA) memberikan otorisasi darurat untuk pengujian kit pada 1 April. Tes yang dikembangkan oleh Cellex ini dilakukan dengan menusuk jari dan dapat memberikan hasil dalam 15 menit.
Fase kedua, dari populasi nasional, kemungkinan akan dimulai musim panas ini, dan belum ada batas waktu untuk fase ketiga tenaga kesehatan. Di Amerika, sekitar 80 persen dari kasus COVID-19 yang dikonfirmasi sesuai dengan gejala ringan hingga sedang, termasuk batuk, demam, dan kelelahan.
Namun, banyak kasus juga yang tidak menunjukkan gejala sama sekali--mungkin 25 persen dari kasus, menurut CDC--dan karena itu kemungkinan tidak terdiagnosis. Tapi, orang tanpa gejala masih dapat menularkan virus ke orang lain yang lebih rentan terhadap komplikasi serius.
Karena sulit untuk mengadakan tes diagnostik, orang-orang di seluruh spektrum yang merasa sangat sehat, memiliki gejala yang diduga, dan bahkan beberapa dengan gejala yang lebih serius, telah didorong untuk tinggal di rumah, jauh dari orang lain dan jauh dari rumah sakit.
Mempelajari lebih lanjut tentang ruang lingkup penuh penyakit, termasuk berapa banyak orang yang sudah mengalaminya dan pulih, dan profil orang yang tidak menjadi sakit karena virus, dapat membantu peneliti lebih memahami virus dan bagaimana penyebarannya.
Tes-tes ini juga dapat membantu pihak berwenang mempersiapkan diri lebih baik untuk respons pandemi di masa depan. Jika diketahui mayoritas orang dalam suatu komunitas kemungkinan terinfeksi ketika virus bergerak selama gelombang pertama infeksi, maka bisa diatasi lebih cepat.
VOX | STAT | POLITICO