“Tetapi bunyi dentumannya tidak terus menerus, satu gempa menghasilkan satu detuman,” katanya.
Sumber suara dentuman juga bisa dari peristiwa longsor batuan, namun dugaan ini dinilainya lebih lemah. “Peristiwa longsoran tidak mungkin terjadi secara berulang-ulang, terus menerus sebanyak dentuman yang didengarkan masyarakat,” kata Daryono.
Selain itu ada yang mengaitkan dengan Skyquake, sebuah istilah menyebut suara-suara yang datang dari langit. Menurut Daryono, masyarakat awam kini banyak yang ikut-ikutan mengunakan istilah Skyquake itu padahal belum memahami konsep ilmiahnya.
Konsep yang sudah mapan terkait bunyi yang bersumber dari peristiwa atmosferik di langit, Daryono menerangkan, sudah ada, seperti acoustic wave, infrasonic wave, atau sonic boom. Tapi saat terjadi dentuman, tidak ada laporan dari stasiun pendeteksi sonic boom dan tidak ada pesawat terbang dengan kecepatan suara.
“Sehingga fenomena Skyquake sebagai sumber dentuman saat itu terbantahkan,” ujarnya.
Kemudian ada ahli yang menduga suara dentuman berasal dari petir. Merujuk beberapa literatur, kata Daryono, pada kondisi atmosfer ideal suara petir paling jauh yang dapat terdengar sekitar 16-25 kilometer. “Sulit diterima jika dikatakan petir yang sama dapat didengar oleh warga di Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Palabuhanratu,” katanya.
Dia mencontohkan jika petir terjadi di Kota Bogor maka tempat terjauh di utara yang dapat mendengar hanya sampai Kota Depok dan tidak sampai ke Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Untuk arah tenggara dan selatan maka tempat terjauh yang masih dapat mendengar petir tersebut adalah daerah Gunung Gede-Pangrango dan tidak sampai ke Sukabumi dan Palabuhanratu.
Bunyi petir juga sangat khas dimana orang awam dengan mudah mengenalinya, sementara suara pagi itu lebih mirip dentuman yang berbeda dengan suara petir.