TEMPO.CO, Jakarta - Heboh Gunung Gede dan Salak yang terlihat jelas dari Jakarta menunjukkan kualitas udara ibu kota yang berbeda daripada biasanya beberapa waktu belakangan ini. Pandemi COVID-19 yang memaksa masyarakat hanya beraktivitas di rumah berada di balik 'fenomena' menurunnya polusi udara.
Seperti dituturkan Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati, pada hari-hari normal udara Jakarta kotor dan berpolusi. Dia berharap 'fenomena' pemandangan Gunung Gede dan Salak membuka kesadaran masyarakat di Jakarta akan kualitas udara selama ini.
Buruknya kualitas udara Jakarta pernah menjadi pembahasan hangat pada tahun lalu. Gara-garanya, data di situs AirVisual yang menempatkan Jakarta di peringkat pertama kualitas udara buruk di dunia.
Pada September, misalnya, menggunakan parameter polutan PM2,5, Jakarta disebut dengan status tidak sehat dengan konsentrasi polutan 114.3 µg/m³. Gubernur DKI Jakarta akhirnya mengeluarkan instruksi khusus untuk pengendalian kualitas udara.
Pada hari ini, Selasa siang, 21 April 2020, sebagai gambaran dari perubahan yang terjadi gara-gara pandemi COVID-19, AirVisual menempatkan Jakarta di posisi kesembilan dalam daftar yang sama. Berdasarkan data pada pukul 12.16 WIB, kualitas udaranya mencapai angka 96 menurut indeks kualitas udara (AQI) dengan status sedang.
Sebelumnya, pada pantauan AirVisual pada 31 Maret 2020 yang diakses pukul 11.10 WIB, Jakarta bahkan lebih memukai. Dia ditempatkan di urutan ke-40 dengan AQI di angka 60. Itu artinya kualitas udara Jakarta jauh lebih bersih pada hari itu.
Sedang pada Selasa siang tadi, posisi pertama sebagai polusi udara terburuk di dunia diduduki oleh Chiang Mai, Thailand, dengan AQI 169. atau setara konsentrasi PM2,5 sebesar 89,8 µg/m³. Menyusul di bawahnya sesama status kualitas udara tak sehat adalah Kota Kuwait, Hanoi, Kyiv, Delhi, Dhaka, Karachi.
AIRVISUAL