TEMPO.CO, Jakarta - Pasien positif dan mereka yang dalam pengawasan terkait penyakit virus corona 2019 atau COVID-19 tidak dianjurkan untuk berpuasa. Pesan ini disampaikan dua ahli dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyambut Ramadan tahun ini yang berlangsung di tengah pandemi penyakit infeksi virus itu.
“Untuk pasien dalam pengawasan atau PDP dan yang positif COVID-19 jelas tidak dianjurkan berpuasa," ujar Dekan FKUI Ari Fahrial Syam. Profesor bidang ilmu penyakit dalam ini juga merujuk kepada orang mengalami gejala demam tinggi lebih dari 38 derajat Celsius atau ada riwayat demam, ISPA, pneumonia ringan hingga berat, serta memiliki riwayat perjalanan ke daerah yang terjangkit atau kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif.
Sedang Kepala LBM Eijkman, Amin Soebandrio, menerangkan, infeksi virus corona itu bisa bertambah parah bila kondisi tubuh lemah. Namun dia meminta pasien yang memutuskan perlu tidaknya menjalankan ibadah puasa. “Intinya kan sebisa mungkin kita harus memelihara kekebalan dan itu harus pertimbangan pasien itu sendiri,” kata Amin yang juga profesor mikrobiologi klinis di Universitas Indonesia.
Guru Besar Biologi Molekuler dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Chaerul Anwar Nidom, juga mengatakan kalau daya tahan tubuh yang kurang baik akan lebih mudah tertular virus. Namun dia juga menambahkan bahwa daya tahan tubuh tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi biologi tetapi keadaan psikologi. “Kalau pikiran dan keyakinan positif, maka yang tidak mungkin bisa jadi mungkin,” katanya.
Tetap, Nidom menyarankan para ulama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tim medis untuk duduk bersama mencari solusi mengenai berpuasa dalam kondisi wabah COVID-19. “Di mana letak posisi keyakinan atau agama pada situasi wabah ini, rundingkan dan cari jalan terbaik,” kata Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di Professor Nidom Foundation (PNF) itu.