TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior di BPPT mengulang peringatannya atas potensi tsunami akibat longsor di dasar laut untuk kawasan ibu kota negara yang baru di Kalimantan Timur. Widjo Kongko, si peneliti, menanggapi studi terbaru yang dilakukan di dasar laut di Selat Makassar, perairan yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi.
Hasil studi itu telah dipublikasi dalam jurnal Geological Society pada 1 April 2020 dengan judul Indonesian Throughflow as a preconditioning mechanism for submarine landslides in the Makassar Strait. Tim penelitinya terdiri dari Rachel E Brackenridge, Uisdean Nicholson, Dorrik Stow (seluruhnya dari Heriot-Watt University Edinburgh), Benyamin Sapiie (Institut Teknologi Bandung), dan Dave R Tappin (University College London).
Dalam makalah itu mereka menjelaskan perihal peran penting Selat Makassar sebagai pintu gerbang utama Arus Laut Indonesia (Indonesian Throughflow) yang mengangkut air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Penelitian tersebut mengidentifikasi pemindahan massal sejumlah deposit dari bagian Cekungan Pleistosen Utara Makassar dari yang moderat lebih dari 10 km3 sampai dengan yang raksasa lebih dari 650 km3.
"Mayoritas longsor bawah laut yang membentuk deposit berasal dari pro-delta Mahakam, dengan arah condong ke selatan," tertulis dalam makalah.
Brackenridge dan rekan-rekannya mengatakan melihat dengan jelas bukti dari erosi arus laut, terjadi transpor lateral dan deposisi kontur di sepanjang lereng bagian atas. Itu menunjukkan Arus Laut Indonesia bertindak sebagai sabuk konveyor lembah yang panjang, mengangkut sendimen ke selatan delta, di mana laju sedimentasi menjadi cepat dan hasilnya lereng kemiringan semakin curam dari longsor bawah laut yang berulang.
"Karenanya, daerah itu berpotensi rawan tsunami yang ditimbulkan oleh tanah longsor bawah laut," bunyi hasil penelitian itu.
Brackenridge dkk juga mengidentifikasi perbedaan antara fault rupture yang bersejarah memicu tsunami (berlokasi sepanjang zona patahan Palu-Koro) dan distribusi dari deposit yang terpindahkan secara besar di bawah permukaan. Jika identifikasi runtuhan besar baru tersebut tsunamigenik, Brackenridge menulis, mereka bisa saja merepresentasikan bahaya yang sebelumnya terabaikan di wilayah tersebut.
Ilustrasi tsunami. afognak.org
Selat Makassar membentuk jalur laut dalam yang memisahkan Kalimantan dari Sulawesi dengan lebar dari 100-200 km dan panjang hingga 600 km. Sementara Cekungan Makassar Utara memiliki panjang 340 km dan lebar 100 km dengan kedalaman 200 hingga 2000 m, dan Cekungan Makassar Selatan menunjukkan kedalaman sama dengan panjang 300 km dan lebar 100 km.
Dasar cekungan teramati tidak ada bukti gangguan tektonik. Sedang pemetaan seismik di lereng depan Delta Mahakam menunjukkan sejumlah besar fitur pengendapan air dalam, termasuk saluran turbidit, tanggul dan bentang serta deposit besar yang terpindahkan.
Berdasarkan studi analog deposit besar yang terpindahkan, kemungkinan longsor bawah laut yang menghasilkan endapan yang dipetakan itu adalah tsunamigenik. Gelombang yang dihasilkan dari longsor bawah laut yang dipetakan dalam penelitian itu dapat berdampak pada garis pantai Sulawesi dan Kalimantan, di wilayah yang sebelumnya tidak terpengaruh oleh peristiwa sejarah.
Para peneliti menyatakan penting untuk memahami mekanisme pemicu peristiwa ini dan bahayanya. Pekerjaan di masa depan dijanjikan akan bertujuan untuk membatasi penelitian pada frekuensi longsoran bawah laut yang memicu tsunami, dan peran iklim dan permukaan laut sebagai pemicu longsor bawah laut.
Brackenridge dan rekan penelitinya mengusulkan pemodelan gelombang tsunami diperlukan untuk menguji skenario kegagalan kemiringan dan mengidentifikasi wilayah pesisir dengan risiko tertinggi.