TEMPO.CO, Jakarta - Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat atau FDA berencana menyetujui penggunaan antivirus remdesivir secara darurat. Remdesivir adalah satu di antara obat eksperimental yang masih menjalani uji klinis pada pasien COVID-19 di sejumlah negara.
Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat, mengungkap rencana dari FDA tersebut. Menurutnya, uji yang sedang berjalan menunjukkan kalau remdesizir, antivirus yang sejatinya diperuntukkan untuk wabah Ebola, dapat mempercepat pemulihan pasien virus corona.
"Data menunjukkan bahwa remdesivir memiliki efek positif yang signifikan dalam mempercepat waktu pemulihan," katanya seperti dikutip dari New York Times, Rabu 29 April 2020.
Jika itu benar diwujudkan, remdesivir akan menjadi obat COVID-19 pertama. Fauci menerangkan, persetujuan bisa diberikan FDA ketika pemerintah federal Amerika Serikat mengumumkan darurat kesehatan masyarakat.
Menurut dia, ini adalah konsep yang sangat penting, karena terbukti remdesivir dapat memblokir virus. "Kami sangat optimistis," kata Fauci meyakinkan.
Uji klinis dengan remdesivir di Amerika dilaporkan telah melibatkan 1.063 pasien COVID-19. Hasilnya, mereka yang menerima pengobatan itu mencatat waktu pemulihan rata-rata 11 hari, atau lebih cepat daripada yang tidak diberi obat itu yakni rata-rata 15 hari.
Fauci memperingatkan bahwa hasil penelitian masih perlu ditinjau, tetapi terdengar menjanjikan dan dapat menjadi standar perawatan untuk pasien virus corona di negeri itu.
Juru bicara FDA hanya mengatakan kalau mereka telah terlibat dalam diskusi berkelanjutan dengan Gilead Sciences, perusahaan farmasi yang memproduksi remdesivir. "Mengenai membuat remdesivir tersedia untuk pasien secepat mungkin, jika memang sesuai," kata juru bicara itu.
Secara terpisah sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan Federation of American Societies for Experimental Biology menyebut tidak ada data berkualitas tinggi yang mendukung efektivitas obat malaria chloroquine dan hydroxychlroquine (juga untuk mengobati randang sendi) mengobati pasien COVID-19. Dua obat ini bahkan disebut bisa membahayakan nyawa pasien.
Isi jurnal sejalan dengan apa yang sudah direkomendasikan di Brasil dan Eropa. Adapun FDA telah pekan lalu menyerukan kehati-hatian dalam penggunaannya dan berjanji membuat pengumuman berikutnya segera setelah menerima informasi tambahan.
Seperti diketahui, di Amerika Serikat, hydroxychloroquine pernah dipuja puji Presiden Donald Trump sebagai penyelamat. "Tapi tetap saja tak ada data klinis berkualitas tinggi yang menunjukkan manfaat jelas dari agen ini," bunyi isi jurnal terbaru itu.
NEW YORK TIMES | NEW YORK POST | NEWSWEEK