TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) menyatakan daerah tropis tidak menjamin memiliki kasus Covid-19 lebih rendah. Begitu juga dengan daerah dengan temperatur tinggi ataupun datangnya musim panas, belum pasti akan menghentikan wabah penyakit virus corona 2019 itu.
"Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak," ujar peneliti lingkungan atmosfer dari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN, Sumaryati, dalam video konferensi bertajuk ‘Evaluasi PSBB dan Indirect Impact Covid-19 di Jawa Barat’, pada Senin 18 Mei 2020.
Berdasarkan beberapa contoh kasus di beberapa negara dengan kondisi iklim yang berbeda, Sumaryati mengatakan bahwa tidak ada pola khas mengikuti garis lintang dari kejadian wabah virus corona jenis baru tersebut. Sumaryati mencontohkan penelitian di Brasil, negara yang cukup panjang posisinya dari tropis sampai sub tropis.
Kenaikan temperatur disebutnya membuat penurunan kasus antar wilayah di Brasil. Tapi di Cina, kasus Covid-19 sudah dinyatakan selesai ketika musim semi. Sementara di negara lain, banyak pula yang mengalami kenaikan kasus saat musim semi.
Di Australia dan Selandia Baru, misalnya. Kasus Covid-19 di dua negara di belahan Bumi selatan itu malah mengalami penurunan ketika musim gugur, menjelang musim dingin. Di Argentina, kasus meningkat karena kejadian musim dingin di sana.
Sedang di wilayah ekuator, kata Sumaryati, kasusnya masih tanda tanya. "Artinya, daerah tropis tidak menjamin kasusnya lebih rendah atau lebih tinggi daripada daerah kutub," katanya menegaskan.
Menurut Sumaryati, ada tiga skenario terkait kondisi wabah penyakit itu berdasarkan limpahan radiasi Matahari yang bersifat mutagenik dengan energi paling rendah. Pertama, jika sel sehat terinfeksi virus corona Covid-19 dan terpapar radiasi rendah mungkin sel akan pulih kembali.
Atau skenario kedua, jika sel sehat terinfeksi virus kemudian mati maka akan memiliki efek sakit sementara, dan bisa kembali pulih jika tidak banyak sel yang terinfeksi. Skenario ketiga, jika virus di dalam sel sehat itu bisa bermutasi maka bisa menyebabkan kanker.
Sumaryati menyimpulkan, cuaca di Indonesia relatif mendukung dalam menekan penyebaran Covid-19, yakni lewat kelembapan dan temperatur tinggi. "Namun jangan mengandalkan kondisi cuaca untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19, harus tetap dengan isolasi sumber virus dan pemakaian masker," kata dia menambahkan.
Jauh sebelum webinar itu, pada awal April lalu, Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah menegaskan, berjemur di bawah sinar matahari tak akan menghindarkan seseorang dari infeksi virus corona Covid-19. Terik matahari maupun suhu udara lebih dari 25 derajat Celsius terbukti tak membantu negara-negara tropis dari pandemi virus itu.
WHO menyatakan itu dalam laman resminya dengan menuliskan: Anda bisa terinfeksi COVID-19 tak peduli seberapa cerah dan panas cuaca. "Untuk perlindungan diri, pastikan Anda cuci tangan bersih sesering mungkin, dan hindari sentuh mata, mulut dan hidung," kata WHO.