Para ilmuwan di Chiba University mengatakan berbagai faktor genetik yang mungkin mengkondisikan respons tubuh terhadap virus dan pantas untuk studi lebih lanjut. Belum ada bukti yang mendukung gagasan itu, namun respons imun yang berbeda juga bisa berperan.
Tatsuhiko Kodama dari University of Tokyo mengatakan studi pendahuluan menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh orang Jepang cenderung bereaksi terhadap virus corona baru, seolah-olah mereka memiliki paparan sebelumnya. Mereka juga mencatat bahwa berabad-abad sejarah virus corona muncul dari Asia Timur.
"Teka-teki angka kematian yang lebih rendah di Asia Timur dapat dijelaskan dengan adanya kekebalan," ujarnya.
Studi lain menunjukkan bahwa tingkat vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) mungkin memainkan peran, karena suntikan anti-tuberkulosis berpotensi menyebabkan respons peningkatan kekebalan pada tingkat sel. "Hipotesis kami adalah BCG, ditambah infeksi atau pajanan terhadap TB, akan menjadi pelindung,” kata Tsuyoshi Miyakawa dari Fujita Health University.
Pertanyaan lalu muncul karena Jepang memiliki catatan vaksinasi BCG yang serupa dengan Prancis, tapi tingkat kematian Covid-19 yang sangat berbeda.
Megan Murray, ahli epidemiologi di Harvard Medical School, mengatakan faktor lain yang perlu dieksplorasi adalah perbedaan dalam mikrobioma--triliunan bakteri yang berada di usus seseorang dan memainkan peran besar dalam respon imun. "Mikrobioma sangat berbeda di tempat yang berbeda. Orang makan makanan yang sangat berbeda," katanya.
6. Pengaruh tingkat obesitas
Ada hal lain yang dimiliki banyak negara di Asia, yakni tingkat obesitas jauh lebih rendah daripada di negara Barat. Obesitas adalah faktor risiko utama untuk penyakit serius. Lebih dari 4 persen orang Jepang digolongkan obesitas, dan kurang dari 5 persen orang Korea Selatan. Bandingkan dengan 20 persen atau lebih di Eropa Barat dan 36 persen orang di Amerika Serikat, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi Rusia mewakili contoh yang acak: sempat aman selama beberapa bulan, kini negara ini termasuk yang terbanyak kasusnya.
WASHINGTON POST | JOHNS HOPKINS UNIVERSITY