TEMPO.CO, Jakarta - Terkait dengan ketentuan yang mengharuskan masyarakat jaga jarak di masa yang disebut sebagai new normal, maka yang tidak mudah penerapannya adalah pada angkutan umum.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menerangkan kebijakan tersebut menjadi dilema. Ketentuan pengisian faktor muat maksimum 50 persen pada angkutan umum berarti menuntut pengawasan yang ketat. “Untuk moda angkutan umum kereta api, bus, hingga taksi, masih sangat memungkinkan untuk mengangkut penumpang, tapi tidak demikian dengan ojek,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 2 Juni 2020.
Dampak wabah Covid-19 telah membuat semua orang menjadi cemas, dan sebagai upaya meredam tingkat penularan penyakit, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan protokol kesehatan yang antara lain berisi berkegiatan di rumah, cuci tangan dengan sabun, penggunaan masker, jaga jarak sosial, dan beberapa hal lainnya lagi.
Menurut Djoko, meskipun secara hukum tidak diakui sebagai jenis angkutan umum, kesempatan ojek menjadi tertutup untuk mengangkut penumpang karena dinilai tidak memungkinkan menerapkan jaga jarak sosial antara pengemudi dan penumpangnya.
Kenyataannya, pemerintah memiliki peran untuk menata atau merancang kembali angkutan alternatif yang bisa untuk menggantikan peran ojek, agar mampu menyediakan jarak antara pengemudi dan penumpangnya. “Bahkan sangat memungkinkan dipasang sekat pemisah secara permanen, sehingga masing-masing pihak dapat merasa terjaga kesehatannya,” kata Djoko.
Sebenarnya, Djoko menambahkan, tidaklah sulit untuk merancang moda angkutan tersebut karena saat ini kendaraan yang dimaksud sudah eksis di beberapa kota di Indonesia, yang terbanyak ada di Jakarta, yaitu bajaj. Kendaraan roda tiga ini sangat mudah dipasang sekat permanen, sehingga tercipta jarak sosial antara ruang penumpang dan pengemudi.
Djoko yang juga akademisi dari Fakultas Teknik Sipil, Universitas Katolik Soegijapranata, menerangkan kelemahan operasional bajaj di Jakarta saat ini adalah jumlah armada masih terbatas tidak sebanyak jumlah sepeda motor. Selain itu adanya pembatasan wilayah operasi tidak seleluasa pergerakan ojek.
Sedangkan keunggulan bajaj, kendaraan ini mampu mengangkut penumpang sekaligus barang, memiliki rumah-rumah yang menjadikan pengemudi dan penumpang terlindung dari cuaca panas maupun hujan. “Sehingga bajaj dapat disebut juga sebagai moda angkutan alternatif yang lebih manusiawi,” tutur dia.
Bersama dengan Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Felix Iryantomo, Djoko menyarankan untuk lebih mempopulerkan bajaj, pemerintah bisa menghilangkan pembatasan wilayah operasi, sehingga menjadi leluasa layaknya sepeda motor. Setelah dipasangi sekat, dapat pula diwajibkan dipasangi meteran penghitung ongkos (agrometer), metode pembayaran nontunai, serta bisa diterapkan sistem pemesanan secara daring.
Hal tersebut tidaklah sulit untuk diterapkan, menurut Djoko. Pemerintah bisa merangkul perusahaan penyedia atau produsen kendaraan, organisasi angkutan darat (ORGANDA), kalangan perbankan, juga perusahaan penyedia aplikasi sistem pemesanan daring.
“Kendaraan roda tiga sebagai angkutan umum yang dilengkapi dengan alat meteran penghitung ongkos tersebut pernah saya saksikan dan mencobanya di Colombo, ibu kota Sri Lanka. Bahkan di negara tersebut kendaraan roda tiga disebut juga sebagai taksi,” ujar Djoko.
Tentangan yang akan muncul kemungkinan besar datang dari pihak penyelenggara ojek saat ini. Namun hal itu tentunya masih bisa diatasi dengan pemberian kesempatan kepada mereka untuk melakukan konversi dari sepeda motor ke bajaj.
Pemerintah juga perlu membentuk tim yang terdiri dari berbagai kementerian atau lembaga dengan syarat yang ketat untuk tidak saling mengambil keuntungan sektoral, sehingga dengan niat baik dalam rangka menerapkan angkutan yang sehat dan manusiawi serta modern dapat terwujud.
Di samping itu, di beberapa wilayah di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sudah lama beroperasi becak nempel motor (bentor). “Keberadaan bentor ini pun dapat dikembangkan menjadi moda angkutan pengganti ojek. Operasi ojek sudah menjamah hampir di seluruh pelosok Nusantara,” tutur Djoko.
Djoko menambahkan, peran angkutan umum masih tetap sangat vital, sehingga pemerintah harus turun tangan membenahi untuk memberi jaminan kepada rakyat terkait ketersediaan angkutan umum yang sehat dan manusiawi, serta dengan tarif yang terjangkau.
“Dalam rangka mewujudkan kondisi tersebut, perlu kerja sama yang harmonis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta dukungan dari mitra kerja dengan penekanan mengambil keuntungan yang sewajarnya,” kata dia menambahkan.