TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan penjelasan posisinya terkait penyebaran virus corona Covid-19 oleh orang tanpa gejala, dengan mengatakan banyak yang masih belum diketahui tentang penularan tanpa gejala. Komentar itu muncul dari seorang pejabat WHO, yang menyebut transmisi tanpa gejala sangat jarang terjadi, dan memicu perdebatan.
Namun, kurang dari 24 jam, WHO mengadakan konferensi pers khusus untuk meninjau kembali komentar itu, serta menekankan bahwa banyak yang masih belum diketahui. Tetapi komentar yang muncul pada Senin, 8 Juni 2020 telah menyebar luas dan digunakan oleh kaum konservatif untuk mendukung argumen bahwa orang tidak perlu memakai masker atau mempertahankan tindakan pencegahan jarak sosial.
Episode ini menuai kritik terhadap pesan kesehatan masyarakat WHO dan menyoroti pekerjaan yang penuh dengan kesulitan di tengah pandemi dipolitisasi. "Itu kesalahpahaman," kata Maria Van Kerkhove, kepala unit penyakit dan zoonosis WHO. Dia berusaha menjawab pertanyaan wartawan yang sebelumnya mengatakan penularan tanpa gejala sangat jarang.
Mengutip laman Washington Post, Rabu, 10 Juni 2020, Van Kerkhove mengaku tidak menyatakan mengenai kebijakan WHO atau semacamnya. "Kami tahu bahwa beberapa orang yang tidak menunjukkan gejala, atau beberapa orang yang tidak memiliki gejala, dapat menularkan virus," ujar dia.
Kepala program darurat untuk WHO Mike Ryan menyatakan, bukan maksud WHO untuk mengatakan ada kebijakan baru atau berbeda. "Masih terlalu banyak yang tidak diketahui tentang virus ini dan masih terlalu banyak yang tidak diketahui tentang dinamika penularannya," tutur Ryan.
Namun, transmisi tanpa gejala atau biasa disebut asimptomatik memang terjadi, meskipun tidak ada yang tahu pasti seberapa sering itu terjadi. Studi dan model menunjukkan banyak dari mereka yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala, dan itu tetap menjadi pertanyaan terbuka apakah mereka adalah kekuatan besar yang menggerakkan transmisi.
Menurut WHO, beberapa negara yang menggunakan pelacakan kontak untuk bekerja mundur dari kasus yang dikonfirmasi belum menemukan banyak contoh penyebaran tanpa gejala. Di waktu yang sama, WHO mengakui pada Selasa, 9 Juni, beberapa studi pemodelan telah menyarankan sebanyak 41 persen penularan mungkin disebabkan oleh orang yang tidak menunjukkan gejala.
Itu menambah kebingungan definisi yang berbeda tentang apa artinya menjadi asimptomatik. Beberapa orang yang terinfeksi tidak pernah menunjukkan gejala, dan ahli akan mempertimbangkan kasus yang benar-benar tanpa gejala tersebut. Namun, beberapa menunjukkan gejala di kemudian hari dan dapat menyebarkan virus sebelum gejala tersebut muncul mereka akan dianggap sebagai kasus pra gejala.
Profesor kedokteran molekuler di Scripps Research Eric Topol, memberikan komentar bahwa WHO cukup berantakan. Menurutnya, dia tidak tahu mengapa WHO mengatakan penularan asimptomatik sangat langka. "Itu tidak mengubah fakta yang kita tahu, bahwa virus ini sangat mudah menular dan sangat sulit untuk dilawan," ujar dia.
Pertanyaan apakah orang tanpa gejala membantu mendorong penyebaran virus itu penting, karena merupakan bagian dari alasan pemerintah AS menjaga jarak sosial dan memakai masker serta memaksakan lockdown. Penyebaran tanpa gejala adalah salah satu cara yang dipercaya beberapa peneliti menunjukkan bagaimana virus ini beredar, bahkan orang yang berisiko rendah atau yang tidak menunjukkan gejala diperingatkan untuk berperilaku seolah-olah mereka terinfeksi.
Dengan begitu banyak yang masih belum diketahui tentang infeksi dan penularan asimptomatik, banyak ilmuwan mengatakan bahwa WHO tidak bertanggung jawab untuk berbicara begitu definitif karena dapat mengikis kesediaan untuk mengambil tindakan pencegahan.
“Dalam beberapa hal, ini adalah semantik yang diperdebatkan karena secara praktis, tidak ada perbedaan antara orang-orang yang belum mengembangkan gejala dan menginfeksi orang lain, dan mereka yang benar-benar tanpa gejala. Itu terlihat sama pada tahap awal," kata Monica Gandhi, ahli penyakit menular di University of California, San Francisco.
Beberapa ilmuwan lainnya menyatakan dukungan untuk WHO, mencatat kesulitan mengkomunikasikan nuansa ilmiah dan ketidakpastian selama pandemi. Beberapa memuji WHO karena terus--tidak seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan Gedung Putih--mengadakan pengarahan rutin untuk memperbarui publik.
Devi Sridhar, pakar kesehatan masyarakat global di Universitas Edinburgh, menjelaskan, perlu diingat bahwa staf WHO telah berlari cepat sejak awal Januari untuk menangani Covid-19. WHO juga melakukan briefing pers harian dan membantu negara yang berada di bawah tekanan dari semua sudut. "Mereka pasti kelelahan seperti kita semua, dan butuh dukungan," tutur dia.
Dalam komentar awalnya, Van Kerkhove tidak sepenuhnya menolak terjadinya transmisi asimptomatik, tapi mengatakan data awal yang tidak dipublikasikan dari pelacakan kontak di beberapa negara menunjukkan itu lebih jarang daripada yang diperkirakan. Dalam beberapa menit, komentar itu diperkuat oleh beberapa outlet berita.
"Kami memiliki sejumlah laporan dari negara-negara yang melakukan pelacakan kontak yang sangat rinci," kata Van Kerkhove dalam komentar awalnya. "Mereka mengikuti kasus tanpa gejala. Mereka mengikuti kontak. Dan mereka tidak menemukan transmisi sekunder. Sangat jarang."
Van Kerkhove menunjuk ke dokumen yang diterbitkan pekan lalu oleh WHO yang memperbarui pedoman mengenakan masker berdasarkan penelitian terbaru.
Dokumen tersebut mengutip pelacakan kontak di Cina yang menunjukkan orang tanpa gejala (OTG) dan pragejala jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menularkan virus daripada mereka yang mengalami gejala. Namun, temuan-temuan itu didasarkan pada ukuran sampel yang kurang dari 100 orang, dan tidak dianggap sebagai bukti ketat oleh sebagian besar standar ilmiah.
WASHINGTON POST | BLOOMBERG | WHO