TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyoroti aktivitas gempa di wilayah selatan Jawa yang belakangan dinilai meningkat. Wilayah yang dimaksud mulai dari wilayah Banten, Sukabumi atau Jawa Barat, hingga Jawa Timur.
Perhatian lebih diberikan ke Pacitan di Jawa Timur. Aktivitas gempa di wilayah ini disebut lebih aktif. “Sepekan terakhir terjadi lima kali gempa,” kata Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, lewat keterangan tertulis, Selasa 23 Juni 2020.
Gempa Pacitan terbaru yang tergolong kuat terjadi Senin dinihari, 22 Juni 2020 pukul 02.33 WIB. Berkekuatan 5,0 Magnitudo, gempa itu mengguncang luas. Mulai dari Pacitan, Wonogiri, Trenggalek, Nganjuk, Ponorogo, Tulungagung, hingga Malang dan Karangkates. Ke arah barat gempa itu dirasakan di Klaten, Sukoharjo, Yogyakarta, Bantul, Maguwoharjo, Sleman, Purworejo, Banjarnegara, hingga Purwokerto.
Daryono mengungkapkan hasil pemantauan BMKG sejak Mei lalu bahwa ada klaster atau kelompok aktivitas gempa yang lebih aktif di wilayah selatan Pacitan daripada wilayah sekitarnya. Tidak hanya gempa yang tergolong dangkal atau kurang dari 60 kilometer, aktivitas gempa berkedalaman menengah dari 60 hingga 300 kilometer pun meningkat di sana.
“Gempa-gempa itu menjadi alarm yang mengingatkan kita bahwa zona gempa Samudera Indonesia selatan Jawa aktivitasnya meningkat,” ujarnya.
Dalam sepekan terakhir BMKG merekam gempa di Pacitan berkekuatan 3,8 dan 2,9 Magnitudo pada 16 Juni 2020, kemudian 18 Juni (M=4,7) dan 21 Juni (M=3,2 dan M=5,1).
Aktivitas gempa di wilayah yang sama juga bisa dilihat berdasarkan riwayat kebumiannya. Gempa Pacitan pada 4 Januari 1840 dilaporkan sangat kuat hingga mengguncang seluruh Pulau Jawa. Setelah gempa berakhir muncul gelombang laut tinggi di pantai selatan Jawa termasuk Pacitan yang diyakini sebagai tsunami.
Gempa Pacitan 20 Oktober 1859 juga memicu tsunami yang menerjang Teluk Pacitan dan menelan korban jiwa dua awak Kapal Ottolina. Gempa Pacitan 10 Juni 1867 menyebabkan guncangan kuat hingga mencapai skala intensitas VIII-IX MMI yang menewaskan 500 orang dan merusak ribuan rumah.
Gempa kuat di selatan Pacitan juga tercatat pernah terjadi pada 11 September 1921, kekuatannya 7,6 M. Getaran lindunya dilaporkan terasa hingga jauh ke Sumatera dan Sumbawa. Selain merusak banyak rumah di Jawa, tsunami datang menyusul dan teramati di pantai selatan.
Pada 27 September 1937 kembali terulang gempa kuat bermagnitudo 6,8. Dampak gempa ini menyebabkan guncangan hebat yang mencapai skala intensitas gempa VIII-IX MMI dan menyebabkan 2.200 rumah roboh serta banyak orang tewas.
Catatan gempa kuat masa lalu itu menurut Daryono dapat menjadi data pendukung kesiapsiagaan mitigasi bencana. “Gempa kuat memiliki periode ulang dengan periodesitas tertentu sehingga gempa kuat yang terjadi di suatu wilayah sangat mungkin dapat berulang kembali,” katanya.
Upaya sosialisasi mitigasi yang berkelanjutan kepada masyarakat menjadi penting agar warga memahami cara selamat saat terjadi gempa, selain bangunan dibuat tahan gempa. Sedangkan untuk meminimalisir risiko tsunami, tata ruang harus dibuat aman seperti tidak membangun permukiman dan tempat usaha di pantai.
Selain itu masyarakat pesisir perlu memahami konsep evakuasi mandiri. "Dengan menjadikan gempa kuat yang dirasakan di pantai sebagai peringatan dini tsunami," kata Daryono.