TEMPO.CO, Jakarta - Rencana mengendurkan protokol jaga jarak dua meter di Inggris diumumkan meski ilmuwan menasihati agar jarak itu dipertahankan. Rencana yang diumumkan adalah jaga jarak tak lagi harus dua meter, tapi bisa minimal 1 meter, berlaku per 4 Juli 2020 bersamaan dengan akan dibukanya kembali kawasan bisnis.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan rencananya itu pada pekan ini. Baru dua pekan sebelumnya dia juga membuat pengumuman kalau para ilmuwan menasihatinya agar protokol jaga jarak tetap dijaga. Berdasarkan penjelasan Scientific Advisory Group on Emergencies, jarak minimal dua meter mampu mengurangi risiko penularan virus corona Covid-19 secara signifikan.
Saat itu para ilmuwan juga merekomendasikan tindakan mitigasi seperti penggunaan layar plexiglass di toko atau supermarket. Diperkirakan, risiko penularan virus itu pada jarak yang kurang dari dua meter akan dua sampai 10 kali lebih besar.
Johnson mengakui langkah relaksasi protokol jaga jarak itu sangat dibutuhkan untuk menggerakkan kembali perekonomian semisal bisnis kafe, bar, dan restoran. Dia menjanjikan kaji ulang dan menyediakan basis ilmiah untuk mengubah protocol yang ada. Namun hingga kini belum jelas bukti ilmiah yang akan disodorkannya per 4 Juli nanti.
Isu jaga jarak mengemuka setelah terjadi insiden ketidakpatuhan publik di London selatan berupa kerumunan massa. Selain datangnya musim panas yang disambut warga dengan memadati kawasan pantai di Inggris sebelah selatan.
Padahal, para ilmuwan meyakini kalau jumlah kasus Covid-19 di negara itu sempat berhasil ditekan berkat kebijakan pembatasan yang ketat sepanjang beberapa pekan lalu. Namun, angkanya diperkirakan naik lagi karena sejumlah pembatasan dihapus.
Christina Pagel dari University College London mengatakan, keputusan yang akan merelaksasi protokol jaga jarak itu juga meresahkan karena proporsi jumlah orang dengan Covid-19 yang berhasil dideteksi pemerintah lewat sistem test dan trace belum memadai. Dia memperingatkan dengan apa yang tengah terjadi di Amerika Serikat.
“Amerika menyaksikan jumlah kasus yang massif, dan saya takut itu terjadi di sini di mana kita tidak mampu mendeteksi peningkatan kasus yang terjadi hingga akhirnya sudah terlalu terlambat untuk bisa mengatasinya,” katanya.
Sementara itu, data statistik di Inggris menunjukkan kalau pria paling terdampak virus corona adalah mereka para pekerja konstruksi dan pekerjaan dasar lainnya. Angka kematiannya sebesar 40 dari 100 ribu pekerja. Untuk perempuan, yang paling rawan adalah mereka yang bekerja di bidang perawatan kesehatan, dengan angka kematian 15 dari 100 ribu.
Saat ini, per artikel dibuat Minggu 28 Juni 2020, Inggris telah melaporkan 311.727 kasus positif Covid-19 dengan korban meninggal lebih dari 43 ribu orang. Jumlah kasus di Inggris telah melorot dari urutan nomor dua tertinggi di dunia. Di antara Inggris dan Amerika Serikat yang masih menjadi penyumbang kasus terbanyak di dunia, kini ada Brasil, Rusia dan India.
NEW SCIENTIST | GUARDIAN | JOHNS HOPKINS UNIVERSITY