Brahney dan timnya mengumpulkan sampel deposit dari udara di setiap lokasi itu baik saat musim kering maupun hujan dan salju. Mereka menganalisis, partikel plastik yang berukuran relatif lebih besar turun bersama hujan dan salju, sedang yang lebih kecil terukur datang sepanjang musim kering.
Tim peneliti itu menyimpulkan kalau partikel plastik yang mengendap pada musim hujan atau dingin berasal dari wilayah sekitar. Mereka merujuk sampah plastik yang tersapu badai dari kota-kota lalu jatuh lagi bersama hujan dan salju.
Sedang partikel lebih kecil, ringan, diduga telah menempuh perjalanan sangat jauh terbawa arus massa udara tinggi di atmosfer. Mereka menjadi bagian dari siklus perpindahan debu global. Partikel yang datang saat musim kering ini diuji dan lebih dari 75 persen adalah plastik.
Serat plastik mikro yang dikumpulkan juga konsisten dengan jenis-jenis material tekstil yang digunakan dalam produksi pakaian, karpet, kemasan, dan perlengkapan luar ruangan seperti tenda dan jas hujan. Itu berarti emisi dari pengunjung taman nasional kemungkinan menyumbang ke endapan mikroplastik, terutama di taman nasional yang ramai wisatawan.
Chelsea M. Rochman, asisten profesor ekologi di University of Toronto yang juga ada dalam tim Brahney, mengatakan temuan perihal mikroplastik di tempat terpencil bukan yang pertama. Tapi mereka mengklaim yang pertama dalam penelitiannya mempertanyakan hal mendasar: kenapa dan bagaimana itu terjadi. “Dugaan partikel plastik dalam air hujan ini adalah temuan yang bisa membuat seseorang berimajinasi lebih luas,” katanya.
Brahney menambahkan, fenomena yang ditemukan itu bisa berkontribusi ke disrupsi lingkungan dari habitat mikroba dan menyebabkan kerusakan ekologis yang lebih luas. Karenanya, manusia pun bisa menanggung risiko. “Kalau ada begitu banyak partikel halus di udara berarti kita menghirupnya juga,” katanya sambal menerangkan dampak kesehatan dari partikel plastik mikro belum diketahui secara detil.
NYTIMES | SCIENCE.SCIENCEMAG