TEMPO.CO, Jakarta - Virus corona Covid-19 diyakini berasal dari kelelawar, kemudian melompat ke manusia melalui spesies perantara. Namun, ilmuwan dari University of Rochester, Amerika Serikat, menemukan bahwa kelelawar juga menawarkan petunjuk pengobatan pasien Covid-19.
Selain SARS-CoV-2, kelelawar juga telah diidentifikasi sebagai reservoir alami untuk virus mematikan lainnya, seperti Ebola dan rabies. Namun, kelelawar telah lama memesona para ilmuwan karena kemampuan mereka untuk menahan virus-virus itu.
"Meskipun manusia mengalami gejala yang merugikan ketika menderita patogen ini, kelelawar sangat mampu menolerir virus, dan, selain itu, hidup lebih lama daripada mamalia darat berukuran serupa," ujar para peneliti, seperti dikutip dari Fox News, Selasa, 14 Juli 2020.
Dalam sebuah artikel ulasan yang diterbitkan di jurnal Cell Metabolism, tim peneliti itu memeriksa mengapa kelelawar seperti tidak terpengaruh oleh virus seperti SARS-CoV-2, juga mendiskusikan rentang hidup mereka yang tidak biasa. Umumnya, masa hidup satu spesies berkorelasi dengan massa tubuhnya.
Semakin kecil spesies, semakin pendek umurnya, begitu pula sebaliknya. "Namun, banyak spesies kelelawar memiliki rentang hidup 30 hingga 40 tahun, yang mengesankan untuk ukurannya," tulis ulasan itu.
Penelitian ini muncul ketika profesor biologi di University of Rochester, Vera Gorbunova dan Andrei Seluanov berada di Singapura sebelum larangan perjalanan terkait Covid-19 pada Maret lalu. Saat Singapura ditutup (lockdown), keduanya dikarantina di rumah rekan mereka, Brian Kennedy, direktur di Centre for Healthy Aging, National University of Singapore.
Kennedy ikut menulis makalah dengan Gorbunova dan Seluanov selama karantina mereka. “Dengan Covid-19, peradangan menjadi rusak, dan mungkin respon peradangan yang membunuh pasien, lebih dari virus itu sendiri," kata Gorbunova mengungkapkan.
Menurutnya, sistem kekebalan manusia bekerja seperti itu, "Begitu kita terinfeksi, tubuh membunyikan alarm dan kita mengalami demam dan peradangan." Gorbunova mengatakan, tujuan itu adalah untuk membunuh virus dan melawan infeksi, tapi juga bisa menjadi respon yang merugikan karena tubuh bereaksi berlebihan terhadap ancaman tersebut.
Dalam foto yang dirilis oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, seekor Lilium Sturnira, spesies kelelawar yang membawa virus flu, ditampilkan di Guatemala. AP/Centers for Disease Control and Prevention, Amy Gilbert
Namun, kelelawar bagaimanapun telah mengembangkan mekanisme spesifik yang mengurangi replikasi virus dan juga meredam respon kekebalan berlebihan terhadap virus. Akibatnya, sistem kekebalan kelelawar mengendalikan virus tapi tidak meningkatkan respon peradangan yang kuat.
"Kelelawar adalah satu-satunya mamalia dengan kemampuan terbang, yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan peningkatan suhu tubuh yang cepat, lonjakan tiba-tiba dalam metabolisme, dan kerusakan molekuler," bunyi isi makalah itu yang meyakini adaptasi itu juga dapat membantu dalam resistensi penyakit.