TEMPO.CO, Jakarta - Tim Kapal Riset Baruna Jaya III Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan pemasangan teknologi baru kombinasi kabel optik dan tanpa kabel (Hybrid Cable Based Tsunameter/CBT) untuk mendeteksi tsunami di segmen Megathrust Mentawai-Siberut, Sabtu, 25 Juli 2020.
Kerja sama pengembangan teknologi CBT Hibrid untuk mendeteksi tsunami itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Pittsburgh University USA, Woods Hole Oceanography Institute USA, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Andalas Sumatera Barat.
Kepala BPPT Hammam Riza saat melakukan konferensi video dari Jakarta, Sabtu, mengatakan inovasi teknologi itu akan menjadi salah satu metode yang akan digunakan dalam membangun teknologi pendeteksi dini gempa dan tsunami bukan hanya di Indonesia tetapi global jika pembangunan sistem itu berhasil.
Selain itu, ia mengatakan keberhasilan tersebut tentu juga akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penguatan Indonesia Technology Early Warning System (Ina TEWS). “Ini instruksi Presiden untuk memajukan penggunaan teknologi early warning system tsunami,” ujar Hammam.
Penggabungan teknologi pendeteksian tsunami dengan kabel dan nir-kabel tersebut memanfaatkan lapisan termoklin di dalam laut sehingga bekerja seperti “base transceiver station” (BTS) di dasar laut yang mampu mengirimkan informasi dengan cepat dari jarak 20 hingga 30 kilometer (km) dari daratan.
Sedangkan kabel optik bawah lautnya hanya akan digunakan di “offshore” saja hingga sekitar tujuh kilometer (km) dari bibir pantai. Dengan teknologi tersebut, Hammam berharap bisa mendeteksi tsunami lebih awal dengan memanfaatkan gelombang akustik sehingga tidak perlu menggunakan kabel.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Antasena mengatakan CBT yang akan dipasang di Siberut hanya tujuh kilometer saja, dan di ujung terluar mengarah Samudera Hindia akan berhubungan secara akustik tanpa kabel dengan sensor-sensor lain di dasar laut.
“Ke depan kalau ini sukses lebih mengefisienkan anggaran. Karena prinsipnya mengurangi penggunaan buoy tsunami untuk early warning system yang sering menghadapi kendala non-teknis, yakni vandalisme,” ujar dia.
Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Harkunti Pertiwi Rahayu yang sejak awal di 2005 terlibat dalam kerja sama pengembangan CBT Hibrid tersebut mengatakan kombinasi dua sistem peringatan dini tsunami dengan kabel dan nir-kabel tersebut sangat penting untuk memperkuat sistem peringatan dini hulu karena masih ada kekosongan besar di sana untuk dapat memonitoring laut.
Harapannya, bila teknologi baru ini akurat dapat membantu masyarakat luas, tidak hanya yang ada di sisi barat Sumatera, tetapi juga mereka yang ada di pesisir selatan Jawa bahkan pesisir lain yang menghadap Samudera Hindia.
“Banyak masyarakat Mentawai yang bertanya soal ini. Mereka justru bisa menjadi pionir memiliki teknologi sistem peringatan dini tersebut, mereka perlu merawatnya sehingga bisa menyelamatkan masyarakat pesisir Sumatera dan Jawa jika bila tsunami terjadi,” ujar dia.
ANTARA