TEMPO.CO, Jakarta - Langur Borneo (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger) termasuk satwa dalam kategori Critically Endangered (CE) atau terancam punah (IUCN Red List, 2020). Namun, satwa sejenis lutung itu masih belum dikategorikan sebagai spesies yang dilindungi di Indonesia.
Dalam acara webinar bertema ‘Urgensi Penetapan Langur Borneo (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger) di Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) Sebagai Satwa Dilindungi’, Kepala Balai Besar TNBKDS, Arief Mahmud, mengatakan Langur Borneo ini hanya ada di wilayah Serawak, Sabah, dan Malaysia.
“Dalam penelitian tahun 2011-2012 tercatat sudah ditemukan di Danau Sentarum, dan sekarang sudah ada gambarnya yang sangat bagus, tapi ini merupakan jenis Langur yang belum dilindungi di Indonesia,” ujar dia, pada Senin, 10 Agutus 2020.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/12/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P. 20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, tidak menyebutkan bahwa Langur Borneo termasuk jenis satwa yang dilindungi.
Hal tersebut diduga disebabkan informasi mengenai keberadaan dan data spesies ini di Indonesia masih sangat sedikit, bahkan bisa jadi belum ada data.
Baca Juga:
Arief berharap bahwa acara webinar tersebut bisa dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya mendorong konservasi jenis primata endemik yang sudah jarang ditemui ini.
Ketua Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Nyoto Santoso menerangkan dulu pada tahun 1990-an spesies itu hanya ada beberapa ekor saja. Artinya dengan kemajuan taksonomi dalam identifikasi spesies maka akan terekam berapa jumlahnya saat ini.
“Spesies primata ternyata sebarannya semakin sedikit. Sebenarnya ada yang menemukan Langur Borneo ini pada 2012, namanya Sangadji tapi tidak diteliti lebih lanjut, dan pada 2012 dibuat skripsinya oleh Pusparini,” kata Nyoto.
Hasil penelitian Pusparini itu, Nyoto melanjutkan, melihat sepertinya Langur Borneo ini mampu bertahan hidup meskipun ada aktivitas manusia. Dalam penelitian itu juga disebutkan bahwa ada 31 ekor Langur Borneo yang tercatat. “Tapi itu tahun 2012, belum tahu sekarang, mungkin ratusan,” tutur dia.
Nyoto juga menjelaskan bahwa data bioekologi Langur Borneo masih sangat sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampling penelitian yang lebih beragam. “Ada lima lokasi sasaran studi Langur Borneo di dalam maupun luar kawasan TNBKDS, yakni Bukit Semujan, Koridor Sepandan, Badau, Lupak Luar, dan Tengkidap,” ujarnya.
Sedangkan ahli zoologi dan biologi konservasi Indonesia Jatna Supriatna menerangkan gambarannya mengenai primata Indonesia yang kondisinya cukup menarik. Menurutnya, pada 2019 terdapat 61 spesies primata di Indonesia, dan pada 2020 tercatat 64 jenis spesies, dan hingga saat ini ada kemungkinan ada spesies baru, juga ada yang masih belum terpecahkan.
“Di Kalimantan ini ada 19 spesies primata terutama di Betung Kerihun,” tutur Jatna. “Namun, ada banyak masalah dalam konservasi Langur Borneo, seperti konversi hutan untuk pertanian, perburuan, perdagangan satwa, kebakaran hutan, pembangunan infrastruktur, pertambangan minyak, dan batu bara.”
Sementara peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Maryanto mengatakan, untuk menentukan apakah satwa itu dilindungi atau tidak, terdapat 17 kriteria sebagai batasan yang perlu diperhatikan.
“Untuk Langur Borneo perlu penelitian lebih lanjut, data yang cukup, dan publikasi ilmiah yang berseries agar status perlindungannya dapat ditentukan,” ujar Ibnu.