TEMPO.CO, Surabaya - Rektor Universitas Airlangga Surabaya Mohammad Nasih mengatakan tiga kombinasi obat Covid-19 tinggal menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk bisa diproduksi secara massal. "Dari lima kombinasi obat penawar Covid-19, hanya tiga yang disarankan karena mempunyai potensi penyembuhan terbesar," ujarnya di Surabaya, Minggu 16 Agustus 2020.
Ketiganya yakni Lopinavir/Ritonavir-Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir-Doxycycline; serta Hydrochloroquine-Azithromycin. Kombinasi-kombinasi dari obat yang sudah beredar di pasaran itu diklaim telah melalui uji klinis fase tiga. Dua kombinasi obat yang disisihkan adalah hydroxychloroquine-doksisiklin dan lopinavir-ritonavir-klaritromisin.
Menurut Nasih, sekalipun berupa kombinasi obat, BPOM tetap menganggapnya temuan obat baru. "Tentu BIN (Badan Intelijen Negara) dan Kasad (Kepala Staf TNI Angkatan Darat) yang akan mempresentasikan ke BPOM untuk memperlancar proses terbitnya izin produksi dan edar," ucapnya.
Rencananya, Nasih yang juga Ketua Lembaga Masuk Perguruan Tinggi Negeri itu mengungkapkan akan ada pertemuan dengan BPOM untuk menjelaskan berbagai isu secara gamblang dan detail pada Rabu mendatang. Saat itu, dia menambahkan, diskusi teknis akan dilakukan berkaitan bahan-bahan obat.
"Untuk mempersiapkan lebih teknis agar obat bisa segera diproduksi bila izin edar terbit. Kami masih menunggu panggilan dari BPOM," kata Nasih lagi sambil menambahkan kalau BPOM sudah pernah inspeksi uji kombinasi-kombinasi obat itu di Bandung. "Dari inspeksi ini, temuan-temuannya sudah kami tindak lanjuti."
Baca juga:
Membandingkan Dua Uji Stemcell UI dan Unair Melawan Covid-19
Nasih juga menyatakan tingkat efektivitas kombinasi obat penawar Covid-19 temuan peneliti Unair mencapai lebih dari 98 persen. Hasil itu didapat setelah tim penelitinya mengevaluasi 750 sampel--dari total 1.100 sampel--sekaligus uji klinis dari Rumah Sakit Universitas Airlangga, Rumah Sakit TNI-Polri, dan Rumah Sakit Lamongan.
"Untuk kombinasi obat yang tertentu efektivitasnya sampai 98 persen, yang paling rendah di angka 92 persen. Efektivitas ini berdasar dari sampel yang diambil secara acak," katanya.